Rabu, 23 November 2011

With you


“Cha nggak tahu, maaf kalo Ocha bukan cewek cantik kayak Karen, Prim. Ocha sayang kamu. Tapi yang barusan Ocha lihat bukan ilusi, kamu mesra banget sama cewek itu. Kita udahin aja sampe disini.”
Dia menatap nanar cowok didepannya. Seberapa sakit hati dirinya, sangat tidak bisa terbayangkan saat ini. Melihat cowok yang ia banggakan pergi dan bermesraan dengan cewek lain. Ocha sudah merasa Prima memang menyembunyikan sesuatu beberapa minggu belakangan ini, yang ia tidak pernah duga adalah Karen. Cewek dari masa lalunya, cinta pertamanya yang pernah meninggalkan Prima kembali dan memang sejak awal berencana merebut kembali cowoknya yang dulu, Prima-nya.
“Cha, aku minta maaf dan yang kamu lihat itu nggak seperti yang kamu pikir.” Jelas cowok dihadapannya.
“Maaf.” Ucap Ocha memilih diam dan berlalu dengan berlari buru – buru naik ke dalam taksi.
            “CHAAAA !!?!?”
            Ia mendengar Prima memanggilnya namun ia berusaha keras tidak peduli. Ia menangis sejadi – jadinya di dalam taksi hingga membuat sang supir kebingungan sendiri. Serba salah, ditanya mau kemana malah keluar airmata terus.
Pagi yang cerah di SMA FC, jelas tidak secerah suasana hati cewek dengan bando merah dirambutnya yang indah. Cewek itu nggak lain adalah Ocha. Ocha berjalan menuju kelas tanpa semangat. Ia benar – benar tidak mengerti bagaimana bisa ia merasakan perasaan sakit yang begitu menusuk bahkan serasa tidak ingin hidup lagi. Ocha sendiri hampir tidak bisa percaya bunuh diri terlintas dibenaknya. Untunglah itu tidak terjadi. Tidak akan pernah. Selama ia masih bisa melihat matahari yang cerah sekalipun hatinya mendung ia akan tetap berusaha tegar.
“Pagi, Cha. Ngapain bengong aja. Tumben.”
Sophie melihat sahabatnya itu sangat tidak bersemangat. Itu sangat tidak biasa.
“Mmm.. Capek. Habis nganterin Marvelo ke New York.”
“Hoo.. ngomong – ngomong, kapan sepupu lo itu balik lagi.”
“Gatau.” Sahutnya singkat.
Sophie mencolek teman sebangkunya yang sekaligus sahabat akrabnya, Regi. Berbisik.
“Si Ocha kenapa ?.”
Regi menatap Sophie dan balas berbisik. “Gatau, gue.”
“Lo lagi ada masalah ya ?” ujarnya setelah berbalik kearah Ocha lagi.
Wajah cewek itu terlihat pucat dan matanya agak sembab terlihat seperti habis menangis. Sophie jadi khawatir kalau sahabatnya ini nanti malah sakit.
“Aku.. pusiing, Soph.” ucapnya perlahan.
Regina menatap Ocha, ia merasa cewek itu akan pingsan dan tepat dugaannya. Sesaat setelah bel berbunyi tanda pelajaran dimulai, kelas gempar karena Ocha—si cewek caio—ambruk.
            Perlahan ia terjaga dari mimpinya. Untuk pertama kalinya dia mendapati dirinya masuk UKS dalam keadaan yang selemah ini. Ocha tidak menyukainya, ia benci mengakui dirinya memang sangat lemah untuk kehilangan seseorang. Ia terlalu sering mengalaminya bahkan sangat tidak bisa menghadapi hal semacam ini. Jika kehilangan seorang teman sudah begitu parah bagaimana kehilangan orang yang di dambakan.
            Ocha jadi teringat dengan pepatah ‘selalu ada yang pertama untuk segala hal’. Ia selalu tidak menyukai pepatah itu. Namun, itu semua benar tidak terbantahkan. Ironis.
            “Kamu udah baikan ?.”
Ocha terdiam. Suara itu… ia mengenalnya tapi, apa benar cowok itu ada disini. Inikan sekolah bukan kampus.
Kenapa dia ada disini ?. batinnya.
Ia melirik asal suara tersebut. Ternyata benar, cowok itu memang ada disana. Ia membuang muka, dadanya serasa ditusuk – tusuk. Sakit sekali rasanya bila mengingat apa yang dilihatnya kemarin.
            “Cha, aku tahu kamu masih marah. Tapi, please jangan kayak gini. Aku minta maaf.”
Ocha sama sekali tidak merespon ia tetap memalingkan tubuhnya. Ia membelakangi cowok itu. Airmatanya mulai terasa ingin keluar namun ia sama sekali tidak ingin menangis dihadapan Prima. Tidak mau dianggap lemah hanya karena cowok itu.
            “Aku nggak bakal pergi, sampai kamu pulangpun aku bakal anterin kamu. Aku nggak masalah ninggalin kuliahku. Lagipula aku bisa ngulang lagi semester depan.”
Ia bangkit dan duduk di tepian tempat tidur namun, masih membelakangi Prima. Sama sekali tidak siap dengan cowok itu. Ia berharap tidak bertemu hari ini.
            “Aku nggak pa-pa. nggak perlu khawatir gitu, cuman capek dikit. Sori udah ganggu jam kuliahmu, pulang gih. Aku bakal naik angkot atau taksi mungkin. Bisa aja aku bareng sama Regi dan Sophie.”
            “Jangan keras kepala gitu kenapa siih, Cha. Aku tau kamu marah dan tolong dengerin penjelasanku dulu.”
Ocha berdiri dan menghadap Prima dengan tekad yang kuat ia tidak menangis apapun yang terjadi. Tidak akan.
Prima menatap mata bulat itu. Baru kali ini cewek itu tidak manampakkan semangat dan keceriaan. Wajah pucat cewek manis itu membuatnya ingin merangkulnya. Ia tahu, cewek dihadapannya pasti sakit hati dengan apa yang ia lakukan dan itu semua memang salah. Tapi itu bukan kemauannya, hanya sebuah perpisahan dengan masa lalu.
“Denger, kita masih bisa temenan. Yah, mungkin nggak sekarang. Mungkin setelah perasaan Ocha membaik aja. Kamu boleh pergi sama dia, dia memang lebih baik dari Ocha.”
Kleeekk !.
Pintu UKS terbuka dan terlihat Sophie membawakan tas Ocha yang masih dikelas. Diam – diam Ocha menarik napas lega karena Sophie datang. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana bersikap di depan Prima.
“Chaa, eh Prim. Sori gue ganggu cuman mau kasih tasnya si Ocha.” Ujarnya.
“Sophie, Ocha mau kamu anter kerumah bisakan ?.”
Sophie tampak bingung tapi melihat wajah sahabatnya itu iapun mengangguk.
“Cha..” panggil Prima lembut.
“Aku bareng Sophie, Prim. Kamu pulang aja.”
Prima dengan keras menolak untuk pulang, ia malah mengikutinya pulang dari belakang. Itu membuat senang namun juga sedih, Ocha sendiri hanya berdiam diri ketika sahabatnya pamitan. Ia hanya tersenyum dan masuk kembali ke dalam tanpa memperdulikan Prima yang mengawasinya dari mobilnya.
Tak berapa lama, pintu rumah Eyang Hesti ada yang mengetuk dan sesekali memijit bel rumah tersebut. Ocha menebak itu pasti Prima, cowok itu begitu pantang menyerah. Memang begitulah dia tapi terkadang dia juga bisa berputus asa dan yang memberinya semangat tidak lain Ocha. Ia bertanya – tanya apakah Prima memang lebih memilih cewek itu daripada dirinya.
“Ochaa.. kenapa pintunya nggak dibuka, buka sana.” Eyang Hesti memanggilnya kembali kea lam nyata.
“Iya, Eyang.”
Pintu itu terbuka, ketika hampir saja Prima ingin pulang saja dan besok kembali pagi harinya kemari.
“Ngapain lagi ?.”
“Bisa kita bicara berdua aja, Cha?.”
“Sori, Cha capek.”
“Chaa..” Prima memeluk Ocha yang telah berbalik menuju ke dalam. “..maafin gue, gue emang cowok plinplan. Gue nggak bermaksud apa – apa, gue nggak mau elo sakit hati kalo liat dia, makanya gue nggak bilang. Waktu ituu.. gue minta dia jangan ganggu gue lagi, gue cuman ngucapin salam perpisahan ke dia, Cha.”
Dalam diam. Ocha merasa airmatanya kembali mengalir, hatinya yang terasa sakit seakan menemukan obatnya. Ajaibnya, sakit itu hilang seketika. Ocha bergerak melepaskan dekapan hangat cowoknya, cowok yang ia sayangi. Menatapnya.
“Apa bener gitu ?.”
“Apa gue pernah bohong selama ini sama lo ?.”
“Gue jujur sama lo, Cha. Lo adalah cewek pertama yang ngajarin gue kalo sayang itu memang bisa menjadi cinta yang utuh.”
Dia benar, Prima tidak pernah berbohong padanya selama ini. Ia merahasiakan Karen karena takut kalau dirinya akan marah. Bertemu dengan cinta pertama dari masa lalu, bisa saja Ocha mengira Prima akan ber-sms ria dengan Karen.
So… kamu nggak marah lagi kan, Cha ?.”
“Cepet banget berubahnya. Hehe.” Kini binar ceria dan semangat Ocha seakan kembali lagi. Prima senang melihat hal ini.
“Apanya ?.”
“Bahasa kamu, dari lo-gue, jadi aku-kamu.”
“Kamu sendiri yang marah – marah nggak jelas.” Ucapnya.
“Yee, siapa yang nggak marah kalo liat cowoknya dicium ama cewek laen sih, Ocha kan juga punya perasaan, Prima.” Ocha manyun gara – gara Prima mengatainya marah – marah nggak jelas.
“Udah deh, kamu tambah lucu kalo manyun hahaaha. Kayak Donald bebek.”
“Enaak aja !”
Eyang Hesti memperhatikan sepasang Remaja itu dari kamarnya yang ada di pavilion. Ia tersenyum melihat keduanya. Mereka—Prima dan Ocha—memang anak – anak yang baik dan dia memang tidak tahu mereka sedang punya masalah apa tapi, untunglah mereka bisa mengatasinya. Semoga saja mereka bisa selalu tersenyum seperti itu selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar