Jumat, 25 November 2011

Cerita 2 (No More)


Pagi itu dirumah Kei yang tenang terasa riuh. Penuh dengan irama dan melodi yang dinyanyikan sepupunya, Dian. Ia memandang Dian sedikit sinis karena seminggu ini dia bersenandung terus akibatnya, Kei jadi kurang berkonsentrasi dengan kerjaannya. Benar – benar mengesalkan.
Ada apa sih dengan anak ini, dasar ababil. Kenal cowok aja begitu, deeeehh kapan kelar novel gue kalo gini caranya. Batinnya.
            “Eh Mbak Kei, sarapan Mbak ?.”
            “Din. Elo bisa berhenti nyanyi begitu nggak, gue ngejar deadline nih.” Gerutu Kei pagi itu dengan secangkir coklat panas ditangannya. Ia tidak berniat sarapan. Ia sangat tidak butuh makanan untuk hari ini. Setidaknya untuk beberapa jam kedepan.
            “Lohh kenapa, Mbak ?.”
            “Kalo lagi jatoh cinta mending elo cari cara lain buat mengekspresikannya, mungkin dengan cara bantu inah masak. Atau bisa aja lo jalan – jalan kek ketaman, asal jangan nyanyiiiiii sepanjang elo jalan dirumah ini.” Gerutunya.
            “Iyaaa sorii deh, Mbak. Hehehe.”
            “Okelah. Awas lo nyanyii, gue pindahin kamar lo ke tempat karokean, aja sekalian.”
Dian tertawa. “Mbak Kei ada aja nihh..”
Kei mulai berjalan menaiki tangga dan masuk ke kamarnya tapi, idenya sedang kosong begitu duduk di depan komputernya. Jelas saja dia agak kesal. Ditambah lagi ponselnya hilang entah kemana, sangat mengesalkan. Dia meletakkan cangkir coklat panas itu disamping computer dan masuk ke kamar mandi.
            “Cewek kemaren itu elo kenal ?.” tanya Roy pada Nando.
Nando menatap sahabatnya dengan tatapan penuh kecurigaan. Baru kali ini anak itu menanyakan seorang gadis bahkan dia masih belia, ABG. Tidak biasa dari seorang Roy.
            “Dari penyelidikan, Om Hendra. Dia sepupu Keisya, masih SMA kelas dua. Sekolah di Sanjose. Dulu SMP di Bandung, lahir disini.” Ucap Nando.
            “Jadi elo bakal ngedeketin dia untuk bisa ketemu, Keisya ?.”
            “Nggak.”
            “Teruss ?.”
            “Gue juga baru tau.”
            “Lucu banget. Kalo gue nggak kenal elo, gue pasti udah hajar elo.”
            “Lo suka ?.”
            “Apaan omongan lo barusan ?.”
            “Apa yang salah ?.” tanya Nando
Roy menatap sahabatnya. Ia sama sekali tidak berpikir untuk jalan dengan gadis belia yang bahkan mengatainya. Tidak akan. Mungkin. Ia sedikit ragu dengan perasaannya. Sejak melihat senyum manis gadis itu, dia selalu terbayang dan berharap bisa bertemu lagi. Apakah itu artinya dia menyukai gadis kecil itu ?.
            “Coba aja, siapa tahu dia bisa menggantikan Tere.” Ucap Nando ketika mendapati sahabatnya termenung.
Nando pergi meninggalkan Roy yang terlihat sedang berpikir. Ia melihat seseorang yang memang ingin ditemuinya keluar dengan mobil jazz putihnya. Ia senang bisa memperhatikan gadis itu dari dekat. Ini semua juga berkat sekretaris ayahnya, Om Hendra. Dia pria yang baik dan sangat bisa diandalkan.
Dia mengeluarkan mobil jeep-nya dari garasi. Berniat mengikuti gadis itu dan bertekad kali ini dia akan bisa menemukan gadis yang dulu menyayanginya dengan penuh ketulusan terlepas dari segala kesalahan yang ia lakukan di masa lalu. Gadis yang dulu membuatnya begitu kagum dengan semua ketabahannya.
Nando sedang mengemudikan mobil sportnya dengan kecepatan sedang. Ia memang tidak terburu – buru dan saat ini ia tengah mengira – ngira bagaimana pendapat gadis itu jika tahu, ia memberikan hadiah untuknya. Belakangan ini ia berubah karena Keisya. Tiba – tiba ponselnya berdering.
“Yaa haloo…kenapa Roy ?”
Suara Roy terdengar putus – putus. “Addduh, ‘ntaran aja yah, gue lagi nyetirr niiih.”

Klap !! ia menutup ponselnya.

Ia melihat seorang lelaki mengejar wanita paruh baya yang cukup cantik. Terkejut ketika wanita itu berlari kearah mobilnya. Tanpa berpikir ia menginjak Rem sekuat tenaga. Wanita itu jatuh terkulai bersimbah darah. Lelaki yang ia lihat tadi menghilang berlari menuju kegelapan. Ia menatap lelaki itu wajahnya tidak terlihat hanya punggungnya.
Dengan cepat ia segera turun, menggendong wanita itu membawanya segera ke rumah sakit terdekat. Setelah mendapat perawatan wanita itu dinyatakan meninggal karena kehabisan darah. Ia takut. Hari itu ia sangat ketakutan. Ia telah menjadi pembunuh.
Ia menelpon Roy. Dengan segera sahabatnya itu menyusulnya.
            “Ada apa ?.”
            “Gue nggak tau, Roy. Dia lari kearah mobil gue karena ada yang mengejar dia, gue berusaha nyelametin dia. Guee.. diaa meninggal Roy. Apa gue pembunuh ?”
Roy menatap Nando. “Tenang , Do.”
Ia sangat terkejut. Melihat wanita yang terbaring itu, ia tidak salah melihat.
            “Dia.. bukannya dia nyokapnya, Keisya ?.”ucapnya lagi.
            “Apa ?! siapa lo bilang barusan ?.” Nando sangat merasa tertekan begitu tahu yang ia tabrak adalah nyokap dari gadis yang ia cintai. Hatinya luruh dalam kesedihan. Ia terpuruk ke dasar lubang di dalam hatinya sendiri.
Roy menyeret Nando yang tampak begitu terperanjat pulang. Sebelumnya ia menelpon Om Hendra dan menyuruh beliau membereskannya. Tapi sebelum itu seorang suster memanggil Roy entah masalah apa.
            “Om, tolong yah. Nando bener – bener shock. Dia sampai nggak bisa bicara.”
            “Tentu.” Ucap Om Hendra.
Roy mengendarai mobil sport itu, mencucinya hingga tidak ada bekas darah sama sekali. Ia menelpon ke rumah Keisya dan yang menjawab hanya pembantu mereka. Mereka bilang keluarga Keisya ke rumah sakit. Pestanya kacau karena Keisya sangat histeris hingga tidak dapat melanjutkannya.
Keesokan harinya,
Nando datang ke rumah Keisya dengan tatapan sangat bersalah. Gadis itu terlihat diam, wajah cantiknya berkesan dingin. Tidak ada airmata, mungkin ia lelah seperti kata Roy. Kemarin malam ia menceritakan semua padanya.
            “Sya..”
Keisya yang belum tahu apapun menghambur berlari kearahnya, memeluknya erat.
            “Do, Bundaa b-bundda…” isaknya suaranya mulai gemetar.
            “Syaa tenang..” ucap Nando.
            “Bunddaaku, bunda janji mau hadir dan bawa buku novel terbarunya, Do. Dia b-bilaangg gitu waakttu ditelfon. Kenapaaaa ini terjadi sama Syaa, D-ddoo.. hhhuuhhhuu…” ia tersedu – sedu.
Nando menatap gadis itu dengan perasaan bersalah yang sangat besar. Ia tidak ingin kehilangan gadis itu, ia sangat berharap malam itu bukan dirinya yang membawa mobil. Ia tidak pernah berpikir hal semacam ini akan terjadi padanya.
Tidak pernah sekalipun.
Keisya memarkir mobilnya. Hari ini dia ke rumah Ervan editor sekaligus teman kuliahnya dulu. Ketika mereka masih duduk dibangku kuliah dulu, Ervan pernah menyatakan perasaan padanya. Tapi, begitulah Kei. Ia menolak dengan saanggaaat halusnya, sampai – sampai Ervan masih tetap tidak bisa memalingkan hati dari gadis itu. Ervan tahu, kalau gadis itu berbeda. Tidak seperti gadis kebanyakan yang mudah sekali untuk ditaklukan.
            “Tumben lo kemari, Kei ?.”
Ervan terlihat duduk dengan santai. Di teras rumahnya.
            “Bosen di rumah denger ababil nyanyi melulu.” Gerutunya.
            “Diandra ?.”
            “Menurut lo ada yang laen ?.”
Ia menyeruput es jeruknya. Ia senang jika Kei menggerutu, gadis itu jarang menampakkan ekspresinya. Bersyukur sekali dirinya karena masih bisa melihat ekspresi di wajah manis gadis itu.
            “Terus lo mau gimana, namanya juga orang jatuh cinta. Elo aja kali yang abnormal.” Ledek Ervan.
            “Abnormal ?” Kei mengerutkan keningnya. “Jadi waktu elo suka sama gue, elo juga nyanyi seperti dia dan apa elo normal suka sama orang ‘abnormal’ ..?” balas Kei.
            “Becanda Non, elo tuh. Sinis banget, pedes lagi ngebalesnya.”
            “Salah lo, ngatain duluan.”
Ervan terdiam sejenak. Menatap gadis itu dengan seksama, ia suka melakukannya. Ia sering melakukannya tapi sekarang rasanya mungkin semuanya memang berbeda.
            “Kalo gue duluan dateng dari cinta pertama lo itu, apa lo bakal terima gue, Kei ?.”
            “Nggak.”
            “Aduh, nii anak bikin hati orang patah terus.”
            “Salah lo naksir gue.” ucapnya tanpa basa – basi.
            “Itu tandanya gue normal, suka sama cewek cantik. Elo seneng kalo gue dikatain gay ya. Dasar !” gerutu Ervan.
            “Udahlah. Elo pasti nemu cewek yang lebih dari gue.”
            By the way, kenapa gue nelpon elo tapi cowok yang angkat kemaren ?.”
            “Cowok ?.” ia mengerutkan kening. “Hape gue ilang, Van. Kemaren waktu di..” Kei teringat sesuatu tentang orang itu.

Nando menunggu dengan perasaan campur aduk mirip seperti es campur di dalam mobil jeep-nya. Ia ingin gadis itu segera keluar. Jujur saja ia merasa sedikit gelisah. Ia menelpon Om Hendra beberapa menit yang lalu dan menyuruh beliau menyelidiki pemilik rumah itu. Yang didapat adalah cowok itu teman kuliahnya dan ia menyukai Keisya. Itu membuatnya sedikit cemburu. Seandainya peristiwa itu tidak pernah terjadi.
Dan tidak berapa lama, gadis itu keluar. Ia melihat seseorang yang ada disebelahnya berjalan perlahan sambil mengunyah permen karet.
Samar – samar di dengarnya, laki – laki itu berkata “Hati – hati.”
Gadis itu hanya menatapnya dan mengacungkan ibu jarinya sebagai pertanda ‘iya’. Sepertinya banyak hal yang berubah darinya memang. Tapi, tidak seluruhnya ia masih tetap gadisnya yang dulu. Seorang penyayang dan penuh ketulusan. Ia yakin seyakin perasaannya untuk gadis itu.
Keisya menatap tidak percaya pada apa yang didengarnya ini. Dia sangat terkejut dengan pengakuan Nando. Malam itu, malam itu ketika bundanya meninggal. Ia disana, ia yang menabrak bundanya. Ia yang membuat segala hal tentang bundanya kini menjadi sebuah kenangan. Bunda yang ia sayangi, orang yang melahirkannya kedua. Bagaimana bisa dia bersama seorang yang telah melakukan hal ini pada bunda.
            “Sya, gue nggak sengaja. Gue nggak sengaja dan gue nggak lari. Tolong percaya gue, gue bener – bener nggak sengaja.”
Wajah Keisya pucat berkesan dingin.
“Do, aku terima kalo kamu punya cewek lain atau nyakitin aku sesakit apapun aku bakal maafin kamu..” ucapnya dengan nada yang belum pernah didengar Nando terucap dari seorang Keisya.
“..tapi, untuk kali ini, maafin aku. Aku nggak bisa, kamu merampas hal terpenting dari aku, kamu nggak berhak mendapatkan kepercayaan dari aku lagi. KAMU PEMBUNUH BUNDAKU ?!”
Tatapan benci dimata Keisya membuat Nando merasa terpukul. Dia kehilangan gadisnya. Dia kehilangan gadis yang ia cintai melebihi dirinya. Ia menangis, memohon kepada gadis itu. Dan berlutut dihadapannya. Tapi, sekeras apapun usahanya untuk menahan kepergian gadis itu. Semuanya sia – sia belaka.

Semuanya telah berakhir.

Setelah malam itu, Nando sama sekali tidak dapat menghubungi gadis itu. Keberadaan gadis itu tidak diketahui. Ia lenyap seperti ditelan bumi.
Ia hanya berharap jika suatu hari bertemu lagi, ia akan menceritakan semuanya. Keseluruhannya.
            “Cepet balikin HAPE gue !!! Kenapa elo ganggu hidup gue sih ?!.” Bentak Kei di telepon. “Mau lo apaaa ?!”
Nando tersenyum. Dia benar – benar tidak menyangka gadis itu sangat galak. Mungkin inilah sisi lain dari gadis yang ia sayangi.
            “Gue mau kita ketemuan.”
            “Buat apa ?! Gue benci sama elo, jijik gue liat muka lo !” geramnya meledak.
Sampai Inah tidak berani keluar karena baru kali ini mendengar majikannya semarah itu. Seumur – umur dia jadi pembantu disini nggak pernah tuh Mbak Kei seperti itu. Marah kayak orang kesurupan jin belum beranak. Bener – bener menakutkan.
            “Syaa, kenapa sih elo galak banget sama gue. Mungkin enam taon emang nggak cukup buat nebus kesalahan gue, meskipun bukan gue pelakunya. Tapi, elo nggak harus kayak gini dong.” Ujarnya.
Meski dalam hati dia berharap gadis itu tidak berhenti marah – marah seperti ini. Marah lebih baik daripada ia berpura – pura tidak mengenalnya.
            “Balikin hape gue !”
            “Kita ketemuan.”
            “Nggak !”
            “Terserah elo, mau hape lo balik atau nggak, Sya.”
Nando telah kehabisan cara hanya ini yang bisa ia lakukan. Untuk bertemu dan mendapatkan kembali kepercayaan Keisya.
Gadis itu terdengar menghela napas, mungkin inilah akhir perdebatan mereka sedari tadi ditelepon.
            “Oke, ketemuan dimana ?”
            “Di Pantai kemaren waktu elo jatuhin hape lo, gimana ?.” ia tersenyum.
            “Jauh. Males gue.” sahutnya jutek.
            “Gue ke rumah lo ?.”
            “Nggak usah ! kita ketemu di lapangan Renon. Deket Museum aja.”
            “Sekarang ?”
            “Taon depan, ya sekarang kapan lagi !”
Dengan kasar Kei membanting gagang teleponnya. Ia sangat kesal. Cowok itu begitu mengesalkan dengan gayanya yang santai. Dia berbeda dengan Nando yang dulu ia kenal tapi, dia tetap seorang yang patut dijauhi. Perasaanya gusar campuran antara marah juga kesal dengan dirinya yang masih saja bisa ceroboh menjatuhkan benda – benda. Menyebalkan.
Dian yang baru saja datang dari sekolah sedikit terkejut dengan amarah yang ditunjukkan sepupunya itu. Benar – benar bukan Mbak Kei sekali. Marah – marah sampai membuat seisi rumah bernuansa seram.
            “Kenapa siih Mbak. Kok banting – banting telepon gitu ?.” tanyanya.
Mbak Kei diam. Ia tidak mau menjawab sama sekali. Dian sedikit kebingungan dengan sikapnya itu.
            “Din, Mbak mau keluar.” Ucapnya. Tanpa berkata – kata lagi langsung menuju garasi dan mengeluarkan mobil jazz berwarna putih miliknya.
            “Adduh, kenapa lagi nih sama si Mbak Kei. Apa gue perlu nelpon Om Rendi kali yah.” Ia menghela napas pendek. Ternyata tugasnya disini buat ngawasin Mbak Kei lumayan buat hepi tapi juga membuat harus ekstra kerja keras untuk memahami sikap Mbak Kei.

Roy memperhatikan sahabatnya. Dia sedikit mengerti kenapa anak itu senyum – senyum sendiri. Dia pasti sudah tahu caranya supaya Keisya mau bertemu dengannya. Dia juga iri banget sama sahabatnya ini. Selalu berpikir cepat tidak seperti dirinya yang lamban dan sangat sulit bisa mengutarakan isi hatinya yang sebenarnya dihadapan gadis manapun.
            “Kenapa ?.” Nando melihat Roy memperhatikannya.
            “Nggak.” Sahut Roy.
            “Udah lo telepon belom, Dian itu ?.”
            “Buat apa. ABG gitu.”
Nando tersenyum. “Elo kebanyakan mikir, Roy. Mungkin gue juga tapi, seenggaknya elo itu nggak seperti gue, Roy. Yang menghancurkan ceweknya sendiri.”
            “Do, elo nggak salah. Lagian siapa sih yang nyangka bakal ada kejadian setragis itu.” Ucap Roy.
            “Memang. Dia belum bisa terima aja,  Roy. Dan gue juga belum nemuin laki – laki itu, Roy.” Tatapan sahabatnya jauh lurus kedepan entah apa yang ia lihat.
Mungkin jika saatnya tiba, Roy harus bilang sesuatu pada sahabatnya itu. Tidak untuk saat ini. Segala hal ada waktunya. Batinnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar