Jumat, 25 November 2011

Taste of love (rasa dari cinta)


            Hidup ini indah kalo saja kalian mau membuka mata dan melihat sekeliling kalian dengan baik. Lihatlah aku, meski mereka—papa dan Bunda-ku—selalu sibuk dan tinggal di New York. Tapi aku nggak pernah merasa kesepian karena aku tahu, di dunia ini aku nggak sendiri. Masih banyak orang – orang yang mau berteman denganku, tertawa bersamaku, dan berbagi cerita untuk segala hal tentang hari mereka.
            Yang jelas, tinggal terpisah dengan orangtua itu bukan alasan mereka tidak pernah memperhatikanmu. Kalian tahu, Bunda-ku itu ceriwis banget selalu saja sibuk menanyakan apakah aku sudah punya pacar yah… namanya juga  ‘ABG’(Anak Baru Gede) wajar sih kalo kena ‘sindrom cinta monyet’. Buatku itu masih belum penting mungkin nanti bisa saja aku punya hehehe. Sekarang yang terpikir adalah kira – kira temanku akan bertambah nggak ya di sekolah baruku. Di awal masa SMA-ku.
            By the way, namaku Ocha saat ini aku baru berumur 16 tahun lho dan SMA-ku yaa SMA FC(Fantastic). Waktu SMP aku sekolah di Bali dan sekarang pindah ke Jakarta. Disini aku tinggal bareng Oma Hesti dan Marvelo, sepupuku yang biasa kupanggil Marvel. Anyway, disekolah ini aku targetin bakalan banyak punya temen baru yang baik dan bener – bener peduli sama aku. Mohon doannya lho, heheehe.
“Cha, baik – baik aja kok, Bunda…” Ujar Ocha sambil membenahi dasinya didepan meja rias.
“Iya Bunda, iyaa.. Ocha bakal hati – hati. Nyari pacar ? Ada – ada aja deh ! Udah ya, Bun. ‘Ntar Ocha telat lagi, bye… Cha sayaangg Bunda.”  Ucapnya seraya menutup ponselnya.
            Sebelum keluar dari kamarnya, Ocha menyempatkan diri melihat dirinya dicermin. Tersenyum dan barulah ia keluar.
“Oma Hestiiii.. pagii.” Sapanya riang pada Oma Hesti.
“Pagii, Vel.” Lalu mengarahkan pandangannya kearah Marvel.
            Seperti yang diingat Ocha, Marvel hanya tersenyum datar tanpa ekspresi. Dia paham betul mengapa sepupunya begitu, memang sifatnya seperti itu gara – gara kedua orangtuanya bermasalah. Dia sendiri sebenarnya nggak begitu tahu apa yang terjadi dengan keluarga Marvel tapi yang jelas rumit. Itu saja yang dipahami selebihnya dia sama sekali nggak tahu bagaimana Marvel.
            “Pagi juga, Ocha.” Balas Oma Hesti. “Kamu bahagia sekali keliahatannya.”           
“Hehe, ya dong Oma. Hari ini tuh, hari pertama Ocha sekul jadi ya harus bahagia alias happy.
“Sekul ?” Tanya  Oma bingung, kurang memahami bahasa ‘pendatang’ kayak Ocha.
“Sekolah maksudnya, Oma.” Sahut Marvel datar dan tanpa ekspresi sambil mengunyah roti panggangnya.
“Ohh sekolah..”
“He-eh.”  Kemudian Ocha duduk disamping Oma menyantap rotinya dengan sopan.
            SMA  Fantastic. Sekolah yang dimana hanya murid – murid berprestasi saja yang bisa masuk kemari. Jangan salah, mereka tidak semuanya memakai kacamata. Sebagian dari mereka memang termasuk kategori kutubuku, suka menyendiri, hobi pakai kacamata tapi itu hanya sebagian kecil saja. Sisanya, mereka semua terlihat seperti model dan artis. Bisa dibilang sekolah bagi calon artis tapi untuk gaya berpakaian tetap rapi.
            Contohnya adalah cowok cakep yang sedang bersandar di dekat gerbang seolah tiang listrik tinggi menjulang. Gayanya keren, tangannya terlipat di dadanya. Sesekali ia menggerutu, bergumam, dan terakhir termenung. Entahlah apa yang sedang dipikirkannya hanya dia dan Tuhan saja yang tahu. Mungkin juga tidak.. yuuk kita intip.
            Prima menunggu, jangan salah sangka dulu nih. Dia nggak menunggu seorang cewek dalam kamusnya dia yang harus ditungguin cewek bahkan mungkin dia yang dikejar cewek. Tidak pernah sebaliknya. Yah, cukup tentang cewek. Saat ini, dia sedang menunggu sepupu – sepupunya yang belum datang. Roger, Foga, dan Regina. Sebenarnya ada satu lagi yaitu Nora, adiknya hanya saja anak itu sedang di skors ditambah lagi hukuman khusus dari Eyang kakungnya gara – gara ketahuan pernah ngerjain si Regina. Yah.. itu sih memang dasar Nora-nya aja yang iri sama Regina. Susah buat hilangin sikap anak – anak Nora karena terbiasa dimanja sih dari kecil. Dan satu rahasia sudah terungkap sekarang, dikeluarga besar Eyang kakung kalo ternyata Foga bukan cucu Eyang. Untuk menjadikan Foga cucu Eyang kakung, Regina bakalan jadi tunangan deh sama dia.
            Yaah.. Foe sendiri juga udah jatuh cinta ama Regina. Kira – kira gue bisa nggak ya, jatuh cinta kayak  Foe. Betah lama – lama sama satu orang cewek dan setia dalam artian sebenernya. Batin Prima seraya menghela napas.
            Tanpa ia ketahui, seorang cewek sedang memperhatikannya sedari tadi. Cewek itu terlihat bingung dengan sikap cowok yang nggak sengaja dia lihat dan dia perhatikan. Berdiri melamun, memikirkan sesuatu. Lamunan Prima terhenti, ia menatap cewek yang berada dihadapannya sekarang. Ia meluruskan kakinya untuk berdiri setelah ia bersandar tadi.
            “Kenapa lo ?.”  tanyanya datar dengan sorot mata yang sedang menilai cewek dihadapannya.
            “Hehe, nggak. Aneh aja liatin cowok sendirian bengong.” Jawab cewek itu, suaranya halus dan lembut.
            Prima yang nggak terima dibilang aneh agak bête. “Apa sih yang aneh ?.” gerutunya.
            “Ocha, baru pertama kali lihat cowok ngelamun pagi – pagi. Biasanya temen – temen cewek Cha yang sering kayak gitu.”
            Namanya Ocha ya?. Batinnya.
            “Baru pertama kali ? Paling juga lo cuma ‘caper’ ke gue.” Nadanya terdengar bangga. Ya iyalah, seantero sekolah tahu dia siapa dan bagaimana. Kalo mau tanya aja sama cewek – cewek disini tentang cowok keren satu ini.
            Ocha tertawa kecil dan memperlihatkan giginya yang putih juga rapi. Bibirnya menipis ketika tersenyum matanya yang bulat sempurna seperti bola pingpong. Rambutnya pendek tapi itu semua kombinasi yang pas membingkai wajah mungil cewek itu.
            “Cha itu nggak suka sama kamu, lagipula tipe cowoknya Ocha tuh yang pinter dan baik. Nggak kayak kamu, udah galak , kepedean banget lagi.” Ucapnya polos.
            “Wah… menghina aja lo.. nggak tau apa gue ini…”
Kalimat Prima terputus, ketika seorang cowok yang dikenalinya tiba – tiba muncul dan menarik Ocha pergi. Ocha Cuma tersenyum dan berlalu bersama Marvel.
Gila juga thu cewek, nggak tahu apa gue kelas 3 disini… tapi apa hubungannya ya ?. akh.. aneh. Gerutunya membatin.
“Tapi.. yang tadi itu Marvel-kan… kenapa dia bareng cewek ?” Gumamnya sedikit penasaran.
“Hayo ! Kenapa lo, Prim ?”
Ternyata Roger dan Foe sudah datang.
“Nggak kenapa.” Sahutnya. “By the way, kenapa baru dateng lama banget. Trus.. si Regi mana ?” tanyanya pada Foe.
“Dia nggak masuk hari ini, ikut Eyang ke makam nyokap.”
“Eh,  masuk yuk. Bentar lagi bel nih. Ngobrol aja sih.” Gerutu Roger kearah kedua sepupunya dan mereka—Roger, Foe, Prima—pun masuk kelas masing – masing. Karena roger sendiri masih kelas 2.
Jam istirahat. Prima jarang banget ke kantin, bisa dihitung berapa kali dia mendatangi kantin selama dia bersekolah di SMA FC. Biasanya sih dia bareng sama Foe juga temen – temen yang memang akrab sama dia ke lapangan basket. Sekedar olahraga saja, dia nggak pernah minat sama basket tapi dia tahu tentang cara bermain bola basket.
“Vel…” Panggil Prima saat ia selesai dan memutuskan untuk rehat sejenak setelah lelah berlari – lari tadi.
Marvel hanya menatap dengan sorot ‘apa ?’.
“Tadi pagi lo bareng sama cewek lo, ya ?.”
Tanpa basa – basi, lagipula Marvel juga teman sekelas, sebangku, dan satu ekskul dengannya. Jadi tidak masalah dia bertanya. Hanya bertanya.
“Kenapa ? Naksir lo ?”
“Ehm.. tumben aja gue liat, pokerface kayak elo bawa cewek. Lagian gue baru pertama kali liat tu, cewek.” Ujar Prima.
“Ya iyalah. Dia murid kelas satu baru, pindahan dari Bali. Anaknya baik sih, suka senyum, dan dia kebalikan dari gue, Prim.”
“Jadi elo jatuuh cinta nih ama dia ?.”
“Atas dasar apa lo bilang gue, cinta sama dia…”
“Ya, abis tumben aja elo bareng cewek dan elo cerita kalo dia baek.”
“Gue sejak kecil bareng dia, jadi gimana nggak bilang dia baek. Lo bayangin dia cewek paling polos kedua setelah Regina pacarnya si Foe.”
“Masa’ sih ?.”
“Ya begitulah, kenapa sih lo tanyain dia ?.”
“Nggak. Tadi pagi tu cewek ngliatin gue, gue dibilang galak sama dia.”
“Cuman satu yang gue minta dari elo nih, Prim. Jangan coba – coba jadiin dia koleksi cewek – cewek lo ya. Karena gue nggak bakal ngebiarin itu, lo tau kenapa ?.” Wajah Marvel terlihat serius, tumben dia punya ekspresi seserius itu.
“Karena dia itu udah gue anggep adek gue, jadi kalo lo macem – macem gue berani taruhan hari lo yang indah jadi suremm…” lanjutnya.
Prima menelan ludah terkejut dengan sikap serius Marvel.
“Emang gue mau jadian apa sama dia, lo kok jahat amat sama sohib lo..” gerutu Prima.
“Sebenernya sih, gue nggak masalah dia pacaran ama siapa, mau elo deketin juga boleh asal elo nggak buat nangis aja.”
“Iya, iya… lo tuh. Gue juga nggak yakin bakalan deketin dia, cewek aneh gitu.”
“Kenapa lo baru sadar dia aneh. Hehehe.” Marvel tersenyum kearah sahabatnya itu. “Gue nggak becanda masalah bikin dia nangis tapi masalah elo mau gebet dia atau apa terserah, gue nggak suka resek.”
“Hahahaha, anjriiit lo. Gue kiraaa lo naksir dia, ampe segitunya lo.”
“Nggak mungkin, gimanapun dia itu sepupu ter-unik gue.”
“Aneh kali maksud lo… hehe.”
“Dia emang gitu, dari kecil suka banget merhatiin hal – hal yang nggak penting dan sepele.”
“Jadi maksud lo, gue nggak penting ?.”
“Iya ! Lo nggak penting, kebanyakan cewek sih.” Marvel tersenyum lagi kepada Prima.
“Resek lo yee.. gue timbuk pingsan lo, pokerface.
“Udah deh, masuk yuk. Bentar lagi bel nih, lagian lo udah selesai mainnya kan ?.”
“Yap. Ayo deh gue juga udah capek nih.”
Aneh banget nih pokerface nggak biasanya dia begitu. Mungkin emang bener kali ya, dia cewek baek. Hehe. Akh.. apaan sih. Aneh. Pikir Prima sambil berjalan menuju kelasnya dengan Marvel.
            Hari pertama sekolah, Ocha telah mendapatkan teman baru. Sophie, cewek yang baik, ramah banget mungkin dia bisa jadi teman akrab Ocha.
            “Ehmm.. Cha, elo nggak kesepian apa ditinggal terus ama ortu lo dari kecil ?.”
            “Mungkin dulu iya, tapi udah biasa kok, Cha itu nggak mau jadi anak manja terus.” Sahutnya. Saat mereka sedang makan dikantin.
            “Oh, emang sekarang ortu lo dimana ?.”
            “Ehmm.. lagi di New York. Disana lagi ada tugas aja sih. Kenapa sophie kok tanya ortunya, Cha ?.”
            “Nggak. Gue penasaran aja, apa elo nggak sedih gitu ditinggal terus.”
            “Nggak kok. Oiya, disini Ocha tinggal bareng Eyang Hesti dan Marvel kok.”
            “Marvelo, maksud lo ?.”
            “Iya. Ehmm.. ngomong – ngomong bangku itu punya siapa sih kok kosong, Soph ?.” Ocha terlihat penasaran.
            “Regina panggil aja Regi. Dia lagi izin, Cha.”
            “Oh mau kenalin Ocha ke dia nggak ?”
            “Pastinya dong. Tenang aja.”
            “Waaahh.. makasih ya, Cha seneng tambah temen.” Ucapnya polos.
Lho kok makasih ??. batin Sophie.
            “Ocha, Sophie ! kalian tidak dengar bel tanda pelajaran sudah berbunyi, kenapa masih duduk dan santai dikantin ?!.” suara guru BP yang kebetulan lewat mengagetkan mereka—Sophie dan Ocha—berdua.
            “Hehe, ibuuu’…” ucap keduanya sambil tersenyum ala kuda alias nyengir.
            Sebulan berlalu, kini Ocha telah banyak memiliki teman seperti yang ia harapkan. Mereka semua sangat menyukai Ocha dengan sikap cewek itu yang ramah, lemah lembut dalam bertutur kata, selalu tersenyum. Hari – harinya sangat menyenangkan. Sampai tiba hati itu, hari dimana semua kehidupannya di SMA FC berubah drastis. Dia—Ocha—pun  tidak akan menyangka, kalau semuanya akan begitu berubah seperti itu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar