Kamis, 24 November 2011

No More

Senada dengan senandung yang kudengar malam itu. Semuanya tidak pernah berubah, aku dan dia selayaknya seperti pertama kali kami bertemu. Tidak ada yang berubah, dia masih tetap menunggu gadis itu. Gadis yang dulu meninggalkannya begitu saja tanpa melirik air matanya yang menetes membasahi wajahnya yang bisa dibilang tampan. Aku selalu bertanya, apakah ketika nanti ia menemukannya, perasaannya masih sama ?.
Mentari tidak muncul dipagi hari ini. Tidak heran cuaca begitu kacau belakangan ini. Kadang hujan kadang mendadak cerah. Hari ini mendung melingkupi keseluruhan wilayah Bali. Banyak juga yang mengeluh tapi, tidak sedikit juga yang gembira. Tidak banyak yang bisa dilakukan diluar rumah ketika cuaca seperti ini. Kalau tidak diam dirumah yah paling hanya memandangi komputernya. Itulah yang dilakukan Keisya.
Memperhatikan monitor komputernya. Mengerjakan hal yang dianggap orang tidak penting namun, buatnya itu mengasyikan. Tidak ada hal yang bisa membuatnya menyerah kecuali ia lapar barulaah ia akan berhenti mengetik tulisannya. Yap. Keisya bercita – cita menjadi penulis novel seperti almarhum sang Bunda. Itu rahasia kecil Kei, selain orang rumah tidak banyak yang tahu hal itu. Jangan berpikir dia adalah orang yang feminim. Meskipun dia memiliki rambut panjang yang kadang tergerai indah, ia terkenal sebagai gadis dengan penampilan unik(baca : aneh). Tomboy. Dan juga jarang bicara dengan orang lain.
“Mbak Kei, sibuk yah ?.” Dia Diandra. Kei biasanya memanggilnya Dian.
“Nggak, lagi tarik otot. Hehe.” Ucapnya. Ia suka lelucon, bercanda, dan tertawa tapi, dengan orang tertentu saja.
“Mbak, Dian bĂȘte banget nih. Maen ke Ramayana yyuuukk...”
Kei memandangi sepupunya itu, Dian baru saja sebulan tinggal disini. Ia terlihat betah. Kei tidak akan merasa begitu jika jadi dia. Dian memang cepat beradaptasi, dia juga anak yang ramah. Ia sebenarnya ingin keluar tapi, cuaca sedang buruk. Itu membuatnya sangat malas.
“Mbak Kei, ayo dong please...” pinta Dian seakan membaca bahasa tubuhnya.
“Mau cari apa kesana, Din ?”
“Yaaah, banyak Mbak Kei, hehehe.”
Ia berpikir sejenak. Menghadap komputernya lalu menyimpan file yang ia ketik tadi.
“Oke. Mbak ganti baju dulu deh. Kamu tunggu dibawah gih.”
“Siip deh, Mbak.” Wajah Dian terlihat cerah.
Ramayana sangat ramai. Hiruk pikuk pengunjung ternyata tidak berkurang meski diluar sudah mulai turun hujan. Kei berjalan pelan sambil melihat – lihat sekeliling, Dian sedang asyik dengan es krim yang dibelinya.
“Mbak Kei, kata temen Dian. Sebentar lagi ada fashion show lho, mbak. Niihh di lantai dua, lihat yyuukk...”
Dia sedikit mengernyit. “Oke.”
Saat pertama kali aku melihatnya, perasaan itu muncul. Tanpa kata, tanpa ada pikiran rasional. Yang ada hanya cahaya yang bersilauan seperti ia turun dari langit. Ekspresinya menunjukan ia jemu namun, ia berusaha senang karena seseorang disampingnya. Dia gadis yang selalu kuharapkan, bisa – bisanya bertemu ditempat seperti ini.
Apakah ini akhir penantianku ?
“Mbak Kei, mau kemana ? acaranya baru aja dimulai.”
“Din, Mbak mau ke belakang bentar.”
“Oh oke deh.”
Terlalu buru – buru, membuat Kei tanpa sengaja menabrak seseorang. Orang itu agak mundur karena sedikit terkejut tapi Kei malah terjatuh. Ia menolong Kei dengan lembut mengulurkan tangannya.
“Lo nggak pa-pa ?.”
“Iya, nggak apa. Makaa…ya tuhaaan..” ucap Kei terkejut melihat seseorang yang sangat lama tidak pernah dilihatnya. Bahkan sangat ingin ia lupakan. Wajahnya mendadak pucat pasi tapi, hal itu berbanding terbalik dengan orang yang ada dihadapannya. Ia terlihat tenang, matanya memancarkan hal yang sama seperti 6 tahun yang lalu. Bintang itu masih bersinar dimatanya yang kelam. Sekelam hati Kei.
“Sya ?.”
“Sori… elo salah or-rang.”
Kei melupakan niatnya ke kamar mandi. Ia menelpon Dian dan menyuruh anak itu ke parkiran.
“Ada apa sih, Mbak ?.” Tanyanya begitu mobil jazz putih milik Kei menyusuri jalanan.
“Nggak, Mbak lupa lagi nunggu e-mail penting, Din. Sori yah.”
“Ehmm. Oke nggak masalah kok, lagian acaranya udah hampir selese kok.”
Dian memperhatikan sepupunya yang sangat ia sayangi. Baru kali ini ia melihatnya seperti itu, bingung seperti habis melihat hantu. Tapi, setelah dipikir ia pernah sekali melihat ekspresi Mbak Kei yang seperti itu. Sewaktu Tante Rika meninggal, iyaa wajahnya pucat berkesan dingin walaupun dia memang orang yang pendiam. Apa telah terjadi sesuatu yang ia tidak tahu pada Mbak Kei ?. Ia sendiri sangat ingin tahu tapi, Mbak Kei akan mengelak. Selalu.
“Sampe kapan lo bakal disini, Do ?.”
Roy menatap sahabatnya. Ia selalu yakin kalo Nando kini telah banyak belajar, sehingga ia bisa lebih bijak lagi dalam menghadapi masalahnya. Ia bukan lagi Nando yang sangat suka berfoya – foya dengan uang milik keluarganya. Bukan Nando sang playboy. Bukan Nando yang berengsek lagi. Ia hanya Nando. Fernando Anggar Dewaputra.
Sudah 6 tahun, sejak peristiwa yang membuat sahabatnya sangat berubah. Dan sejak itu pula gadis itu menghilang tanpa jejak. Gadis itu seperti ditelan bumi. Tidak ada tahu, bahkan sahabat dekatnya sekalipun. Ia benar – benar gadis jahat sekaligus gadis yang amat sangat baik. Setidaknya ia pergi dengan membawa sebuah dampak baik untuk Nando.
“Roy, gue ketemu dia tadi siang.”
Roy berpaling, menatap Nando. Suaranya tenang wajahnya seperti menampakkan sebuah ketenangan yang sangat membuat Roy iri.
“Dia makin cantik, makin terlihat seperti bukan gadis SMA yang dulu pernah gue sakiti.”
“Apa ?!.”
“Diaaa.. gue masih sayang dia, Roy. Waktu gue lihat dia, dia lari gue nggak tahu apa ini namanya takdir. Tapii.. gue akan nemuin dia, disini.”
“Apa dia bakal maafin elo, setelah peristiwa itu ?.”
Nando berdiri memandang lurus, menatap langit yang begituu luas. Air mukanya tenang, itulah yang bisa ia banggakan dari dirinya yang sekarang. Ia bukan lagi cowok yang penuh emosionalitas. Ia setenang air di danau, cara berpikirnya saat ini berbeda dengan cara berpikirnya 6 tahun yang lalu. Dia bukan Nando si Pangeran muda. Dia hanya Nando.
“Apapun gue lakuin untuk maaf dan senyumnya yang ceria..”
Kei duduk diam dalam keheningan selama beberapa jam setelah keluar dari mall tadi siang. Dian sedikit heran dengannya untungnya anak itu tidak banyak bertanya lagi. Hanya saja dia sedikit mengkhawatirkan sikap diam yang tidak biasanya. Tapi Kei meyakinkan kalau dirinya baik – baik saja. Hanya sedikit kehilangan inspirasi dan ide untuk novelnya.
“Mbak Kei, ada telpon dari Oom Rendiiiii..” teriak Dian dari luar kamarnya itu memecah keheningan yang ada disekitarnya.
“Ya, Din. Mbak angkat.”
“Halo Pa.. ya sehat aja kok…nggak apa Kei ngerti papa nggak bisa kemari… iyah… dah papa.” Kei merasa tubuhnya lelah padahal ia tidak melakukan apapun. Ia hanya bertemu dengan orang itu.
Hanya melihatnya sejenak kembali menghadirkan perasaan tak karuan melingkupi hatinya. Debaran jantungnya tak terkendali. Begitu hebatnya hingga ia sendiri merasa ingin memeluk orang itu lagi. Tertawa bersamanya. Dan itu semua bukannya tidak pernah terjadi.
Dulu, sekali waktu itu pernah terjadi. Kei ingat betul bagaimana orang itu menghancurkannya dengan satu kesalahan fatal. Yang sulit sekali termaafkan sampai dia harus meninggalkan orang itu.
Kei berbaring menatap langit – langit kamarnya yang penuh dengan hiasan bintang. Berpikir. Apakah semuanya harus seperti dulu lagi.
“Apa ini takdirmu, Tuhan ?.” gumamnya. “kalau benar, apa harus beginii...”
Ia memejamkan matanya. Berharap ini semua adalah mimpi semata. Tuhan tahu bagaimana dulu ia menderita karena seorang yang ada dalam hidupnya.
“Aku s-suka kamu.” Ucapnya malu.
Wajahnya Nampak merah padam. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa akan menyukai seseorang seperti Fernando Anggar Dewaputra. Anak dari seorang konglomerat ternama. Memiliki segala hal, tidak pernah merasa sulit dengan uang. Baginya uang bukan masalah, tinggal meminta.
“Gue ini playboy, elo nggak takut gue mainin ?.”
Keisya tertunduk. Wajahnya yang manis dengan rambut panjang di kepang mirip cewek jepang zaman showa. Kacamata minusnya tidak menutupi kecantikan alami dari seorang Keisya. Dia tahu, Nando adalah seorang cowok yang suka gonta – ganti cewek. Itu semua bukan sebuah rahasia di sekolah.
“Takut yah ?.”
“Bukan g-gitu, nggak masalah kamu punya cewek lain. Asalkan kamu jujur sama, Sya. Sya akan selalu nemenin kamu, sekalipun kamu punya selusin cewek. Tapi, Sya bakal selalu ada untuk kamu.”
Roy, sahabat Nando tertegun mendengar cewek cupu tapi cakeeep itu berkata begitu. Jelaslah, mana ada cewek yang rela diperlakukan seperti itu. Jarang – jarang ada yang seperti itu. Apa jangan – jangan cewek itu kurang waras ?.
“Yakiin ?.”
“I-iya..”
“Oke. Karena lo sendiri yang bilang, gue terima lo jadi cewek gue.”
Hari itu perasaan Keisya sangat bahagia. Tidak ada hal yang bisa menggambarkan segala rasa yang ia rasakan saat itu. Hatinya dipenuhi bunga indah menawan seakan mimpi indah an berharap tidak akan terbangun.
Sarapan pagi Kei berlangsung singkat. Ia tidak ada gairah untuk menghabiskan nasi goreng buatan Inah. Meski sebenarnya rasanya sangat lezat. Ia pergi begitu memakannya sesendok. Ia pergi mencari objek yang ingin ia potret dengan kamera yang diberikan papanya tahun lalu. Ia senang memotret dan sangat tidak suka di potret. Begitulah Kei.
Padang – padang, pantai yang sangat indah. Belum terjamah oleh pemerintah, masih banyak orang yang tidak tahu lokasi ini. Kecuali orang – orang yang memang tahu benar tentang daerah Bali.
Dulu ia memilih kemari karena, tidak akan ada yang akan berpikir ia ada disini. Tidak ada yang tahu, kalau ia sebenarnya memang lahir di pulau ini. Tidak dengan ia memohon pada papanya untuk memalsukan identitasnya di Jakarta. Papanya melakukannya setelah ia menceritakan sebagian alasaannya. Sebagian yang terpenting ia tidak menceritakannya.
Tapi, yang membuatnya terkejut, kemarin ia melihat orang itu lagi, disini.
Nando memperhatikan sekitarnya. Dari sudut matanya ia menangkap sosok gadis yang ia temui kemarin. Gadis itu berjalan dengan perlahan membawa kamera. Dengan kemeja kotak – kotak dan celana pendeknya. Rambutnya dikuncir kuda. Tanpa kacamata yang pernah ia kenakan dulu.
Ia mulai berjalan menghampiri gadis itu. Perlahan. Sambil memperhatikan gerak langkah gadis itu. Sampai akhirnya mereka bertemu pandang, jarak mereka hanya dua meter.
Wajah Kei Nampak pucat pasi begitu melihatnya.
“Tolong, jangan lari. Gue nggak akan jahatin elo, Sya.”
“Siapa ?.”
“Sya, gue tahu elo nggak bisa maafin gue. Gue mohon elo jangan pura – pura nggak kenal gue.”
“Gue emang nggak kenal elo.” Ucap Kei.
“Keisyaaa please… gue harap lo mau denger penjelasan gue.”
Kei berdiri dengan sekuat tenaga. Ia berharap bisa segera pergi tidak melihat orang yang ada dihadapannya kini. Ia berharap airmatanya tidak kembali mengalir. Tidak sekarang. Jangan.
“Gue minta maaf untuk kesekian kalinya. Guee.. pengen elo tahu, gue masih sayang sama elo, Sya. Gue nggak bisa lupain elo, meski enam taon berlalu, Sya.”
Wajah gadis dihadapannya tanpa ekspresi dan terkesan dingin. Tidak ada niat untuk menjawab perkataannya. Ia mulai gelisah tapi, masih berusaha tenang.
“Gue bukan Keisya yang dulu lagi, gue bukan cewek yang memuja Fernando Anggar Dewaputra. Keisya yang elo cari udah mati. Dia udah mati bersamaan saat elo merampas hal terpenting dalam hidupnya.”
“Sya, gue bener – bener nggak sengaja. Gue..”
“Jangan panggil nama itu dengan bibir kotor itu.”
“Bisakah gue menghapus kesedihan lo, Sya ?
“Elo sumber kesedihan hidup gue, elo tau itukan pecundang !”
Kei pergi berlari terburu – buru hingga tidak sadar menjatuhkan ponselnya. Nando memungutnya. Ia senang dalam hal ceroboh gadis itu belum berubah sama sekali. Dia mungkin bukan Keisya-nya yang polos tapi, dalam diri gadis itu masih ada gadis yang menyayanginya.
“Hei, Sya.” Sapa Nando. Matanya merah dan sembab, terlihat seperti usai menangis. Tapi, apa benar seorang Nando menangis. Kalau itu benar apa sih, yang buat dia hingga seperti itu.
“Kenapa ?”
“Nggak apa.”
Keisya duduk disebelah Nando. Ia tahu cowok itu menyembunyikan sesuatu. Selama ini dia memahami dan tahu bagaimana karakter cowok itu lebih dari orang – orang lain.
“Kata bunda, Sya kalo lagi sedih paling enak tuh teriak gitu dipantai, di gunung. Atau dimana gitu.”
Nando terdiam. Entah mengapa, gadis disampingnya ini terlihat begitu baik. Meski telah berkali – kali ia disakiti. Tetap saja ia ada, tetap saja tidak marah dan meninggalkannya begitu saja seperti kedua orang tuanya.
“Sya. Kenapa elo baik banget sama gue ?”
“Sya, sayang sama kamu. Kenapa, Nando keberatan ?.”
“Ternyata gue beruntung punya elo, Sya. Mulai sekarang gue nggak bakal maen – maen lagi. Bisakan elo ajarin gue, gimana cara jadi orang baik ?.”
Ia terdiam sejenak memperhatikan cowok itu. Ia tahu suatu saat hari ini tiba ketika seorang Nando akan berubah karena kesabaran dan ketulusannya.
“Tentu.”
Jawabnya dengan penuh keyakinan namun, itulah awal dari sebuah bencana yang tak pernah di duga mereka. Yang merenggut segala hal tentang kebahagiaan memiliki satu sama lain.
Dian agak kesal dengan keputusannya untuk pergi ke mall sendirian. Mbak Kei sangat berkeras ia tidak mau pergi karena harus menyelesaikan naskah novel yang ia kerjakan. Yahh.. nggak heran, sepupunya itu bekerja sebagai penulis novel. Dan namanya memang belum begitu terkenal meskipun begitu novel – novelnya sangat bagus. Dian salah satu penggemarnya. Tidak disangkal sepupunya mewarisi bakat almarhum ibunya, Tante Rika.
Tante Rika sangat baik. Seorang wanita yang lembut itulah yang ia ingat. Usianya sekitar sepuluh tahun ketika kecelakaan yang menewaskan beliau. Semuanya begitu mendadak, terjadi tepat di hari ulang tahun sepupunya, Keisya yang lebih suka ia panggil Mbak Kei. Om Rendi bilang saat kecelakaan itu terjadi tidak ada siapapun dan tidak ada yang tahu siapa pelaku yang menabrak. Itu adalah sebuah tabrak lari yang menewaskan Tante Rika ditempat. Mungkin. Tidak ada yang tahu kejadian yang sesungguhnya karena mereka mendapati beliau di rumah sakit.
Seberapa parah kehilangan seorang ibu yang melahirkannya hanya Mbak Kei yang tahu. Perubahan dalam diri Mbak Kei sangat drastis. Dari seorang yang sangat ceria menjadi dingin, jarang tertawa paling hanya tersenyum. Ia jarang bereskpresi lagi, ia jarang bicara sekali mau dekat dengan siapapun. Dian saja harus dengan usaha yang ekstra keras agar Mbak Kei mau bicara dengannya.
Karena melamun ia jadi menabrak seseorang sampai es krim yang ada ditangannya tumpah di pakaian orang yang ia tabrak.
“Adduuhh, sori banget yah.” Ucap Dian.
“Gimana sih, kalo jalan jangan meleng ! liaat nihh jadi kotor kan ?!” gerutu cowok itu.
Dian jadi senewen dalam hati. Tapi, dia tetap berusaha sopan secara dia juga salah sih.
“Sori deh. Gue bener – bener nggak sengaja.”
“Nggak sengaja ? apa elo emang sengaja mau kenalan gitu sama gue.” ucap cowok itu dengan pe-denya.
“Woii Roy !” Panggil seorang cowok yang cakepnya luar biasaaaaa… Dian sampai meleleh rasanya lihat itu cowok. Gayanya yang keren, rambutnya yang semir coklat, ditambah lagi dia tinggi banget. Diatas rata – rata cowok sini deh. Pakaian yang ia kenakan sungguh membuat dia mirip artis – artis korea. Huuumm.. cowok perfect !.
“Kenapa, Roy ?.” tanyanya.
“Nih cewek numpahin Es krim ke baju gue. Pake bilang nggak sengaja, padahal dia mau kenalan gitu sama gue aslinya.”
“Enak aja, situ kali yang kepe-dean, gue kan udah bilang nggak sengaja. Lagian nih ya, emang situ okee banget gitu. Tampang nggak seberapa aja udah sok banget. Gantengan juga Lee min hoo kemana – mana tau.” Ujar Dian kesal karena cowok itu sangat tidak sopan.
“Apa – apaan lo, ngatain gue jelek gitu.” Sungut Roy kesal.
“Gue nggak bilang lho, elo yang nyadar sendiri.” Balas Dian.
“Elo..”
“Udah Roy, lo seneng banget debat sama orang. Cewek SMA lagi, inget umur lo. Dasar.” Tukas cowok cakep itu.
“Darimana lo tau dia anak SMA ?.”
“Liat dong dandanannya, udah berapa lama lo jadi temen gue, bedain cewek aja kagak bisa. Bego !” gerutu cowok itu.
“Dek, sori yah. Temen gue ini emang begini suka marah – marah tapi, dia baik kok.” Cowok keren itu tersenyum Dian jadi serasa meleleh lagi. Duh cakep amaaat.
“Gue Diandra panggil aja Dian.” Senyum cewek itu merekah. Roy sedikit tertegun tapi buru – buru menepisnya.
“Buat apa lo kenalin diri. Idiihh cewek aneh.” Rutuk Roy. Tapi cewek itu bersikap cuek dan tidak mnghiraukannya.
“Gue Nando. Temen gue ini Roy. Oke permisi yah, kami lagi ada perlu.”
Tanpa berpikir panjang, Dian mengambil pena dan tissue yang ada di tasnya. Menuliskan nomor ponselnya. Dan memanggil cowok keren tadi.
“Hei, nih.” Ucapnya lalu berlari pergi. Karena itu adalah hal yang paling berani yang pernah ia lakukan. Itu hal pertama dan terakhir. Janjinya.
Kedua cowok itu saling berpandangan menatap kepergian cewek ABG itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar