Jumat, 25 November 2011

Mawar Putih


Mawar putih. Bunga yang tidak hanya melambangkan sebuah kesucian. Bunga itu memiliki sebuah arti yang lebih dari kesucian. Sesuatu yang kuat layaknya cinta. Bagi banyak orang ia hanya sekedar bunga, tanpa memahami makna tanpa pernah ingin tahu apa yang membuat bunga itu begitu indah dan berarti.
Aku memuja mawar putih. Bunga itu memiliki sebuah kenangan dan arti sendiri buatku. Ia bukan sekedar bunga untuk menyatakan perasaan, ia sebuah keabadian dalam rentang waktu yang hampa. Ia keabadian yang selalu mengingatkanku untuk hari itu. Hari dimana kau akan datang menjemputku bersama senyum manis yang selalu menghiasi wajahmu.
            “Hei Hyo-Rin. Kau sedang apa ?” Lee Yul menatap cewek disebelahnya dengan heran. Setiap kali ke danau dekat sekolah ia selalu terlihat jauh. Jauh dalam artian, tubuhnya disana namun sukmanya entah berada dimana.
            “Apa kau tidak bisa diam. Kenapa kau harus mengikutiku ?” gerutu Hyo-Rin. Entah sejak kapan berandal dengan rambut oranye itu mengikutinya.
            “Kenapa ? kau kan calon pacarku.” Ucapnya cuek.
            “Sudah kubilang, kau bukan tipeku.” Balasnya untuk kesekian kalinya.
            “Memang seperti apa tipe kesukaanmu ?.”
            “Yang jelas dia tidak seperti dirimu.” Sahutnya sambil bergerak dan ingin meninggalkan tempatnya berdiri.
            “Hei ingat ya, kau pasti akan jadi pacarku !.” teriak Yul dengan keras. Hyo-Rin tetap menlanjutkan langkahnya menuju kelas.
            Hari yang panjang terasa amat melelahkan tidak hanya lelah ditubuhku tetapi lelah hati juga amat terasa. Setiap orang yang melihatku membuatku merasa seolah aku ini sebuah hiasan dinding yang usang. Hiasan usang yang seharusnya dibuang. Aku telah berusaha melupakan segalanya, semuanya sia – sia. Aku tidak pernah kuat. Aku rapuh serapuh kayu yang telah dimakan rayap – rayap yang  lapar.
            “Hyo-Rin ! kau tidak pulang ??.” Suara Chae Kyeong membuyarkan lamunannya.
            “Belum ingin pulang.”
            “Ehmm.. apa kau sedang ada masalah ?.”
            “Tidak aku hanya sedang memikirkan sesuatu, tapi sudahlah tidak masalah.” Ucapnya.
            “Kau ini, selalu saja begitu. Hei ingat besok kau ada latihan balet.” Sambil mengambil tas dan meninggalkan ruangan tersebut. “Aku pulang dulu, aku ada janji dengan Shin.”
            “Ya, sampai jumpa.”
Hyo-Rin menatap layar ponselnya. Ada pesan dari beberapa orang tapi tidak terlalu penting. Ia memutuskan pulang sebelum orang rumah mencarinya.
            Pagi itu seperti biasa ketika melewati taman dekat rumahnya untuk berangkat ke sekolah Hyo-Rin selalu mendapati berandal rambut oranye—Lee Yul—sedang tertidur di salah satu bangku taman yang ada disana. Ia tidak peduli seakan tidak mengenalnya, ia melewati tempat tersebut. Sebelum sampai ke sekolah ia ke toko bunga langganannya membeli setangkai mawar putih.
            “Kenapa kau selalu berwajah sendu jika melihat mawar putih ?.” Yul yang tiba – tiba berada disampingnya entah dia muncul darimana membuat Hyo-Rin agak terkejut.
            “Itu bukan urusanmu.”
            “Kau ini, kenapa selalu ketus seperti itu padaku.”
            “Kau yang kenapa, selalu saja ada disekitarku. Apa kau ini memang suka menguntit orang ?.”
            “Sudah kukatakan, kau itu calon pacarku.”
            “Huffhh… sudahlah aku sedang tidak ingin berdebat dengan siapapun.” Ia beranjak dari depan toko bunga dan mulai berjalan menjauhi Yul.
            “Tunggu aku, kau ini.” Gerutu Yul mengejarnya. Pada akhirnya mereka berdua berjalan bersama menuju ke sekolah.
            Iramanya membuatku begitu terhanyut dalam gerak yang gemulai. Kelenturan di setiap lekukan serta gerakan yang kupelajari begitu kunikmati. Tiap langkah tiap gerak mengandung sebuah makna keindahan tersendiri. Seolah aku ini memiliki sepasang sayap yang membawaku melintasi langit. Tak seperti yang kurasakan jika aku tidak menari. Aku merasa, aku bukan apa – apa bila tanpa tarianku ini.
            “Hyo-Rin kau bagus, latihlah terus ya.” Ucap Pembina baletnya.
            “Baik.”
            “Untuk kali ini, kita sudahi saja.” Ucapnya lagi. “Dan minggu depan kalian bersiap untuk seleksi perlombaan balet antar SMU.”
            “Hei Yul, kenapa kau gigih mengejar cewek pendiam seperti Min Hyo-Rin ?.” tanya Shin, ia tidak pernah habis pikir cewek itu begitu tertutup pada orang lain.
            “Ada apa ?.”
            “Kau tahu, dia itu tidak pernah bicara pada teman sekelas selain kau dan Chae-Kyeong, lalu bagaimana bisa dia itu menarik dimatamu ?.”
            “Kau sendiri kenapa memilih Chae-Kyeong, dia itu ceroboh, suka mengoceh tidak jelas, dan dia itu terlalu aneh.” Gerutu Yul.
            “Cih, kau memang menyebalkan !” Ujarnya sambil menimpuk Yul dengan sepatunya.
            “Hahahaaa… tidak akan mengenaiku, bodoh !”
            Hyo-Rin menatap layar ponselnya yang sedari tadi berdering. Nama yang tertera “Oranye”—Lee Yul—dia sedang malas bertemu siapapun termasuk Yul. Saat ini dia sedang bersembunyi di danau belakang sekolah. Lagipula sekolah sudah sepi ini sudah pukul 3 sore. Ia ingin sendiri tanpa gangguan siapapun. Terutama dari Yul ‘si oranye’ yang sangat cerewet itu.
            “Bersembunyi dariku ?.” Hyo-Rin tertegun mendengar suara yang ia kenali.
            “Aku tidak bersembunyi.”
            “Hyo-Rin kau ini, sebenarnya sedang apa ?.”
            “Aku sedang duduk.”
            “Bukan itu maksudku. Sedang ada masalah ya ?.”
            Ia berdiri mencoba sejajar dengan Yul tapi itu tidak begitu berhasil Yul lebih tinggi darinya.
            “Kau sangat berisik.”
            “Hei, Ayo pulang. Kau bisa masuk angin.” Yul tidak memperdulikan perkataanya, ia hanya ingin cewek itu segera pulang ke rumahnya.
            “Dasar bodoh.” Ejeknya kepada Yul.
            “Ah sudaah, ayo pulang. Aku akan mengantarmu, hari sudah mulai gelap.” Yul menarik tangannya sehingga ia tidak dapat mengelak lagi.
            Mendadak ditengah perjalanan hujan turun membuat mereka—Yul dan Hyo-Rin—berhenti sejenak untuk berteduh meski seragam mereka telah basah kuyup oleh guyuran air hujan.
            Gemeletuk gigi cantik Hyo-Rin terdengar oleh Yul, ia menatap cewek cantik itu. Yul adalah cowok yang cepat tanggap. Ia tidak akan membiarkan cewek itu kedinginan tapi bagaimana caranya kalau seragamnya sendiri basah kuyub begitu.
            “Hei tunggu disini sebentar ya.” Perintah Yul, suaranya sedikit berbisik mungkin akibat kedinginan.
            “B-baik.” Sahutnya dengan suara gemetar tidak tahan dengan hawa dingin yang melanda tubuhnya.
            Beberapa menit Yul kembali membawa payung dan sebuah jas hujan.
            “Ayo pulang dan pakailah ini.” Hyo-Rin melakukan yang dikatakan Yul. Ia sangat tidak tahan dengan dingin.
            “Sudah sampai cepatlah masuk.”
            “Y-yul, t-terimakasih.”         
            “Kemarilah sebentar.” Ucap Yul.
            Hyo-Rin berjalan mendekati Yul. “Ap-pa ?”
            “Kau sangat manis.” Yul dengan cepat mencium pipi Hyo-Rin dan berlari sambil tersenyum riang. “Ingat jangan sampai masuk angin, Rin-chan !” teriaknya samar dengan derasnya hujan yang turun.
            Hyo-Rin terlihat terkejut dengan perbuatan Yul tadi. Dia tidak bisa marah, rona merah yang sedari tadi hinggap diwajahnya menjadi semakin merah padam. Campuran antara malu dan dinginnya udara. Di kamarnya, setelah membersihkan diri dan berendam sejenak membuatnya merasa sedikit malu dengan peristiwa tadi. Ia baru ingat cowok itu memanggilnya Rin-chan ?.
            “Kenapa jantungku berdebar – debar ?.” Gumamnya. “Ahh.. sudahlah buat apa kupikirkan.”
            Ia memilih untuk tidur dan sebuah pertanyaan masih melekat dalam benaknya, pertanyaan mudah yang seharusnya bisa ia temukan sendiri. Bagaimana ia harus bersikap pada si oranye itu ??.
            Dia tidak ada. Tidak seprti biasanya selalu menguntitku, mengikuti, dan berkomentar tentang apapun yang sedang kulakukan. Cowok menyebalkan itu hari ini tidak masuk. Aku sedikit merasa bersalah karena bisa saja ia terkena flu. Aku lega sekaligus merasa gusar olehnya.
            “Kau memikirkan apa ?.” Chae-Kyeong yang sedari tadi memperhatikan sahabatnnya itu merasa bingung.
            “Tidak.” Sahutnya singkat, padat, dan jelas.
            “Aku tahu, kau pasti sedang memikirkan Yul.” Tebak Chae-Kyeong.
            “Tidak.”
            “Dia terkena flu sampai tidak bisa bangun dari tempat tidurnya. Kemarin Shin dan aku ke rumahnya mengantar obat.”
            Kali ini, Hyo-Rin tidak bisa mengelak lagi. Ia sungguh merasa tidak enak karena dialah sepertinya penyebab flu si oranye itu.
            “Apakah aku boleh tahu alamat rumahnya ?.”
            “Tentu, tapi habiskan dulu makananmu.”
“Emm.. aku tidak lapar kau saja. Aku mau ke kelas balet sabtu besok aku ada audisi.”
“Oke aku akan tetap dikantin dulu.”
Hyo-Rin terdiam ketika melihat gerbang rumah yang besar didepannya saat ini. Ia tidak pernah menyangka berandal rambut oranye itu memiliki rumah sebesar ini. Tidak mirip rumah melainkan istana. Ia meragukan apakah ini benar rumah si oranye itu. Sampai ia menelepon si oranye itu untuk memastikannya.
“Ini aku, aku ada di depan rumahmu.”
Beberapa saat seorang pelayan keluar dan membungkuk kearahnya. Ia sedikit tertegun dengan hal itu. Tidak biasanya orang membungkuk begitu padanya. Ini tidak menyenangkan sama sekali.
Pelayan tersebut mengantarkannya ke depan pintu kamar yang lumayan besar. Mempersilakannya masuk dan meninggalkannya begitu saja disana. Ini sama sekali tidak nyaman untuk Hyo-Rin.
“Kau mengkhawatirkanku ?.” suara Yul terdengar serak mungkin karena flu. Cowok itu terlihat memakai piama dan sedang duduk ditepian tempat tidurnya.
“Tidak.”
Yul tersenyum. “Kau ini, kemarilah ada yang ingin kutunjukkan.”
“Tidak, terkahir kali aku menuruti keinginanmu terjadi insiden yang tida kuharapkan.” Tolaknya tegas.
“Aku tidak akan minta maaf untuk itu. Aku tidak akan macam – macam. Tenanglah.” Ucapnya.
Entah bagaimana aku percaya padanya. Tak sedikitpun terbersit perasaan ia akan menyakitiku atau melakukan hal – hal yang tidak baik pada diriku. Aku tidak tahu tapi aku hanya melihat itu semua dari matanya yang selalu menatapku dengan hangat. Seolah memberiku temapat untuk pulang ke rumah yang sesungguhnya. Rumah yang kurindukan, penuh kehangatan dan tawa seperti dulu ketika aku bersama mereka.
“Lihat ini untukmu. Aku membuatnya sendiri, walaupun tidak sebaik buatan pelayanku.” Yul memperlihatkan sebuah rangkaian bunga mawar putih yang terbuat dari kertas.
“Apakah kau membuatnya saat kau sedang terkena flu ?.”
Yul tertawa. “Tidak, sebenarnya aku sudah baikan semalam. Dan tanpa sengaja aku melihat seorang pelayanku membuatnya saat aku ke dapur jadi, aku memintanya mengajariku. Kuharap kau menyukainya.”
Hyo-Rin menatap Yul, wajahnya sendu bercampur rona merah yang entah bermakna apa. Cowok itu tidak dapat mengartikannya yang jelas kesepian yang selama ini tersembunyi kini terlihat jelas. Ia tidak salah menilai cewek dihadapannya ini, ia kesepian. Hal yang sangat ingin Yul tahu adalah apa penyebab wajah murungnya.
“Hyo-Rin ?.”
“Terimakasih, kau sudah membuatnya. Aku tidak bisa menerimanya.”
“Tapi, bukankah kau menyukai mawar putih…”
“Aku…menyukai dalam artian berbeda. Tidak untukku, meski aku menyukainya bukan keindahan semata yang ku puja dari mawar putih.”
Yul sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan cewek itu. Yang ia tahu hanya Hyo-Rin sangat tertekan ketika mengucapkan kalimat itu. Ia ingin merengkuh cewek itu, menenangkannya agar ia tidak seperti itu.
“Kau tidak…akan mengerti itu, kau sama seperti mereka semua. Kau tidak mengerti.”
“Hei tenangkan dirimu, kumohon jangan seperti ini. Aku memang tidak mengerti tapi kau bisa menceritakan apapun itu.”
“Tidak. Maafkan aku, aku ada urusan mendadak. Permisi.”
Ia berlari keluar melewati pintu kamar besar itu. Berlari melewati lorong – lorong yang terasa begitu panjang dengan airmata yang tanpa sadar menetes satu persatu. Sudah lama airmata itu tidak pernah menampakkan biasnya diwajah Hyo-Rin sejak kecelakaan sepuluh tahun lalu. Sejak ia kehilangan segala keceriaan dan senyumannya.
Yul mendapati Hyo-Rin di taman hidungnya memerah dan matanya terlihat bengkak, sepertinya ia usai menangis. Ia mendekati Hyo-Rin dan cewek itu terlihat biasa saja, diam. Tanpa berkata apapun. Menoleh dirinya pun tidak.
“Heii.. sedang apa ? kenapa kau membolos ?”
Hyo-Rin menatap Yul sekilas. Lalu pandangannya lurus, jauh kedepan entah apa yang ia lihat, Yul hanya ingin cewek itu menceritakan segala hal yang membuatnya resah.
“Kau tahu, aku selalu sendirian. Aku tidak mencolok, hanya cewek biasa. Tidak istimewa… tapi apa yang membuatmu menyukaiku ?”
Kali ini Yul sejenak terdiam. “Aku melihatmu hari itu, menangis sendirian dan memeluk bunga mawar putih…” Yul menghela napas “…di atap sekolah. Sejak itu aku ingin tahu, apa yang terjadi padamu dan keingintahuanku berubah menjadi kasih sayang ketika aku mengenal seperti apa kau sebenarnya, Rin-chan.”
Hyo-Rin menatap Yul. Berandal oranye itu telah menyentuh hatinya, membuatnya berharap lagi. “Aku takut kehilangan orang yang kusayangi… kedua orangtuaku meninggal karena sebuah kecelakaan dan mereka tewas ditempat. Kakakku meninggalkanku di panti asuhan, hidupku begitu berat. Ditambah lagi orang yang mengenalkanku pada balet meninggal karena overdosis obat – obatan terlarang. Akuu takuut…”
Airmatanya mengalir deras, ia tak mampu lagi memendam rahasia itu sendiri. Inilah yang seharusnya ia lakukan sejak dulu, menceritakan segalanya kepada seseorang. Seseorang yang dapat ia percaya sepenuhnya.
Cowok itu memeluknya dan berbisik, “Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.”
Mendengar itu Hyo-Rin menangis sejadi – jadinya.
Hari itu, musim gugur tiba…
Dedaunan berguguran, pepohonan terlihat tak berambut tanpa daun – daun mereka. Seorang cewek terlihat berjalan mengenakan mantel tebal dan sarung tangan. Wajahnya memerah diterpa angin musim gugur yang membawa hawa dingin.
            “Ini kopimu….” Terlihat cowok berambut oranye menyerahkan gelas kopi pada cewek tersebut.
            “Terimakasih…”
            “Kau tahu, ini adalah hari jadian kita yang ke 18 bulan, dan kau masih saja ketus begitu. Apa sebaiknya aku memberikan mawar putih saja ?.”
            Hyo-Rin menatap sebal kearah Yul.
            “Baiklah, aku ingin satuhal darimu…” ucap Yul tersenyum hangat seperti biasa.
            “Jangan meminta hal yang tidak penting.” Balas Hyo-Rin.
            “Kemarilaaah, aku akan memberitahumu..”
Diwajahnya menampakkan keraguan meski sedikit namun ia tetap menuruti perkataan Yul.
            “Aku ingin kauu seperti mawar putih ini.. berseri, harum, dan cantik. Mawar ini bukan hanya menjadi kenangan namun mawar ini menjadi lambang kesucian perasaanku.”
Ucap Yul sambil memberikan bunga tersebut pada Hyo-Rin.
...(end)…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar