Jumat, 25 November 2011

My Senior


Kalian takkan pernah tahu betapa mengerikannya waktu. Sang waktu mampu membawa kalian kemanapun, ketempat dimana semua kenangan indah serta buruk terkubur. Sang waktu bisa merubah seseorang menjadi sangat jahat ataupun sebaliknya, sangat baik. Maka, pergunakan waktu itu sebaik yang kalian bisa.
....
Sekolah baru.
Apa yang kalian pikirkan tentang lingkungan sekolah baru ? Teman ? Pacar ? Atau Popularitas dikalangan orang – orang tertentu ?. Sudah sangat jelas Teman dan seorang pacar alias pujaan hati bagi yang masih men-jomblo.  Popularitas juga perlu, kenapa ? karena tidak dikenal disekolah maka kalian hanya akan menjadi sebuah bayangan ada tapi kadang tidak terlihat. Begitu bicara sekolah tidak akan jauh dari gossip dan pelajaran. Surga untuk para remaja pintar dan neraka bagi mereka yang hanya suka menyetor tampang ke sekolah.
Berbeda bagi, Olav. Ia merasa sekolah itu membosankan, menyebalkan, bahkan menyedihkan sekali ia harus belajar hanya demi mengejar selembar kertas. Itu sama saja dengan hal bodoh. Tidak mengasyikkan. Tapi itu dulu. Sebelum ia bertemu seorang cowok cakep yang benar – benar membuatnya jatuh cinta. Cinta pertamanya. Meskipun sama sekali nggak jadian tapi, cowok itu yang pertama menyentuh hatinya.
Daann….
GUBRAAAAKKK !!
“Adoowwhh… sakiittt…!.” Pekik Olav sembari mengusap lututnya yang lecet karena ditabrak seseorang dari belakang. “Woiii… sialan lo ! lo kira lorong sekolah punya kakek moyang lo yah !.” Rutuknya.
“Hahaha. Rasain. Siapa suruh elo meleng, dasar jelek !.” Mata Olav membulat, melotot kepada cewek yang sedang mengejeknya. Ia mengenali cewek itu.
Oh yaaa.. siapa sih yang nggak kenal sama cewek satu ini dan dia memang selalu mengganggu Olav. Seantero sekolah terpesona pada parasnya yang cantik nan menggoda namun sayang cuma sedikit orang yang tahu sikap buruk cewek itu. Salah satunya Olav.
“Dasar mulut racun !.” Balas Olav sengit. Ia tidak pernah takut pada Audry. Cewek pesolek yang otaknya nol besar !.
“Cewek jelek ! Mulut lo tuh yang banyak racun. Hahaaha.”
Audry berjalan dan tidak mempedulikan Olav yang masih sedikit meringis karena luka di lututnya.
“Kurang ajar banget tuh cewek !.” Gumam Olav. Dan iapun berjalan menuju UKS untuk meminta obat merah.
Dari jendela UKS ia melihat seorang cowok yang sepertinya ia kenal. Ingin memastikan, Olav masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu sehingga mendapati pemandangan yang sedikit membuatnya shock. Guru UKSnya berciuman dengan seorang cowok yang berseragam SMA dan seragam itu bukan seragam sekolahnya. Ia menatap dengan tatapan kosong ketika melihat cowok itu dia mengenalnya. Cowok yang tiga tahun lalu membuatnya berubah. Seorang cowok yang mengendalikan semua dunianya, katakan saja cowok itu adalah pusat dunianya. Cowok yang saat ini sedang menatapnya pula dengan tatapan terkejut namun sedetik kemudian tanpa rasa bersalah ia malah melanjutkan aksinya tersebut.
“Mmmhhmm… stop Rraa..” Ucap Ibu Widya. Dia berusaha melepaskan diri dari cowok itu. Yurra Saputra. Arra-nya.
Olav masih mematung di depan UKS tapi pintunya telah ditutup rapat.
“Olav, ibu mohhon jangan ceritakan ini pada siapapun. Ibu..”
Arra menatap dingin kearahnya, ia hanya tertunduk tanpa bisa mengatakan apapun.
“Elo kalo mau bilang, bilang aja. Gue nggak takut sama lo.” Ucapnya dingin sama seperti tatapan matanya.
“Buat apa. Gue nggak peduli ama urusan lo, Arra.”
Kali ini ekspresi wajah Arra terkejut sekali, ia tidak menyangka sama sekali akan ada yang mengenalinya dengan nama itu setelah sekian lama. Nama itu telah lama tidak didengarnya.
“Siapa lo ?.” Raut wajah Arra mengeras seolah ingin meledak marah.
“Mungkin lo lupa, tapi gue inget banget kalo elo dulu bukan cowok seperti sekarang.” Ucap Olav.
“Ini hidup gue.” Arra pergi meninggalkan UKS setelah mengambil jaket dan bicara dengan Bu Widya.
Olav sangat terkejut dengan amarah yang dilihatnya tadi disela – sela ucapan cowok cakep itu. Satuhal yang pasti ia menemukan pusat dunianya lagi, namun ia telah berubah sama seperti halnya dirinya. Sayangnya, cowok itu berubah menjadi orang lain. Bukan cowok baik tapi pastilah masih ada sebuah kebaikan dalam hatinya. Untuk itu, Olav telah memutuskan jika ia ingin mengembalikan cowok itu seperti dulu ia harus berjuang dan mungkin itu sama sekali tidak mudah. Tapi, gimana caranya ? kalau keberadaan cowok itu aja dia nggak tahu sama sekali.
Mungkin...
“Olav ! kenapa kamu melamun saat pelajaran saya !.”
Olav menelan ludah dan matanya terbelalak karena kaget mendengar suara Pak Komar, guru bahasa indonesianya.
“Eheheee, bapakk maaf yah pak. Saya lagi laper niih.” Ucapnya asbun(asal bunyi) sehingga seisi kelas menertawakannya.
“Kamu ini ! cepat jawab soal halaman 145.” Perintah Pak Komar dengan lantang dan tegas.
“Gue benci bahasa….” Gumamnya dalam hati.
Sore itu, Olav memutuskan untuk pergi mencari Bu Widya guru UKSnya. Ia mencari beliau di UKS namun tidak menemukan wanita paruh baya namun masih cantik itu. Dan ketika sampai di depan ruang kepala sekolah barulah ia menemukan sosok Bu Widya. Beliau sedang menangis tersedu – sedu dan disebelahnya ada Audry. Olav berpikir sedang apa mereka disana dan untuk apa guru UKS itu menangis seperti itu.
Tak berapa lama, Audry menuju pintu dan berniat keluar. Olav buru – buru bersembunyi agar tidak ketahuan ingin menguping pembicaraan kepala sekolah dengan guru UKS tersebut.
“Baik pak, saaaya akkan mengundurkan diri hari ini jugga.”
Dan Bu Widya-pun keluar ruangan tersebut, Olav mengejar beliau dan sampai di ruangan UKS barulah ia berhasil mengajak beliau bicara.
“Ada Bu ?.”
“Apa kamu yang mengatakan kepada Audry tentang peristiwa tadi pagi ?.”
Olav terkejut. Ia yakin cewek racun itu berkata yang tidak – tidak dan mengadukan kejadian yang sebenarnya memalukan untuk dilakukan seorang guru seperti Bu Widya.
“Nggak ada bu. Saya aja baru selesain tugas dari Pak Komar.”
“Artinya dia memang melihat juga. Maafin Ibu kalo nggak jadi guru yang memberikan contoh yang baik sama kamu, Lav.”
Olav menatap sedikit sedih untuk guru itu. Ia tahu ia wanita yang baik dan kehilangan suami diusia yang sangat muda.
“Sebenernya saya pengin tanya sama Ibu, Arra itu kenal sama Ibu dimana ? dan lagi sekolah dimana, seragamnya saya belom pernah lihat.” Ucap Olav to the point karena dia memang selalu begitu.
“Dia itu Yurra. Ibu kenal dia waktu ibu hampir di copet.” Sahut Bu Widya tidak keberatan menjawab pertanyaannya. “Dia sekolah di SMA RedFire. Dia ketua geng disana, ditambah lagi sekolah itu memiliki reputasi buruk karena banyak melakukan tawuran dengan sekolah lain.”
“RedFire yang katanya mencetak preman terbanyak daripada mencetak sarjana berbakat ?.”
Olav terdiam. Ia tidak lagi mendengar apa yang dikatakan Bu Widya. Yang sempat ia katakan hanya ‘terimakasih’ pada guru itu dan pergi begitu saja.
Selama ini apa saja yang terjadi pada Arra-nya yang manis dan baik hingga menjadi seorang ketua geng disekolah preman itu. Apa yang harus ia lakukan sekarang ?. Bagaimana semuanya bisa terjadi pada cowok itu ?. Olav terus memikirkannya.
***
               
Hari itu mendung. Minggu pagi yang sedikit menyenangkan untuk Olav. Dengan kaos longgar dan celana hotpants-nya ia duduk ditepian jendela sembari memegang telepon ditangannya. Seminggu telah berlalu setelah peristiwa di UKS tersebut. Gossip sekolahpun banyak merebak akibat ucapan tidak bertanggungjawab dari Audry. Ingin sekali rasanya member pelajaran pada cewek cantik dengan hati iblis itu sayangnya, Olav tidak suka bals dendam. Ia memilih berdiam diri dan tidak peduli.
Ia memijit beberapa nomor dan..
“Halo, Pa. Apa kabar ?.” Terdengar suara diujung sana.
“Baik sayang, Mamamu juga baik. Kami sedang menghadiri acara pernikahan teman lama disini. Ada yang terjadi ?.”
Olav menyayangi papa-nya. Beliau selalu tahu ketika ia sedang dalam masalah atau sedang menginginkan sesuatu.
“Pa. Olla mau pindah ke RedFire.” Ucapnya.
“RedFire ? Kenapa ? Bukankah…”
“Pa, Olla ketemu Arra.” tukasnya dan papa-nya terdiam. Ia yakin papa-nya pasti mengenali nama itu. Bocah laki – laki yang membuat anak kesayangannya berubah.
“Lantas. Apa yang akan kamu lakukan sayang ?.”
Olav menceritakan tentang peristiwa seminggu yang lalu pada papa-nya. Dan ada sesuatu yang sedikit membuatnya terkejut tentang keluarga Arra. Ia pun bertekad masuk RedFire. Apapun yang terjadi ia harus membawa kembali Arra. Sesulit apapun ia tetap berusaha.

Taste of love (rasa dari cinta)


            Hidup ini indah kalo saja kalian mau membuka mata dan melihat sekeliling kalian dengan baik. Lihatlah aku, meski mereka—papa dan Bunda-ku—selalu sibuk dan tinggal di New York. Tapi aku nggak pernah merasa kesepian karena aku tahu, di dunia ini aku nggak sendiri. Masih banyak orang – orang yang mau berteman denganku, tertawa bersamaku, dan berbagi cerita untuk segala hal tentang hari mereka.
            Yang jelas, tinggal terpisah dengan orangtua itu bukan alasan mereka tidak pernah memperhatikanmu. Kalian tahu, Bunda-ku itu ceriwis banget selalu saja sibuk menanyakan apakah aku sudah punya pacar yah… namanya juga  ‘ABG’(Anak Baru Gede) wajar sih kalo kena ‘sindrom cinta monyet’. Buatku itu masih belum penting mungkin nanti bisa saja aku punya hehehe. Sekarang yang terpikir adalah kira – kira temanku akan bertambah nggak ya di sekolah baruku. Di awal masa SMA-ku.
            By the way, namaku Ocha saat ini aku baru berumur 16 tahun lho dan SMA-ku yaa SMA FC(Fantastic). Waktu SMP aku sekolah di Bali dan sekarang pindah ke Jakarta. Disini aku tinggal bareng Oma Hesti dan Marvelo, sepupuku yang biasa kupanggil Marvel. Anyway, disekolah ini aku targetin bakalan banyak punya temen baru yang baik dan bener – bener peduli sama aku. Mohon doannya lho, heheehe.
“Cha, baik – baik aja kok, Bunda…” Ujar Ocha sambil membenahi dasinya didepan meja rias.
“Iya Bunda, iyaa.. Ocha bakal hati – hati. Nyari pacar ? Ada – ada aja deh ! Udah ya, Bun. ‘Ntar Ocha telat lagi, bye… Cha sayaangg Bunda.”  Ucapnya seraya menutup ponselnya.
            Sebelum keluar dari kamarnya, Ocha menyempatkan diri melihat dirinya dicermin. Tersenyum dan barulah ia keluar.
“Oma Hestiiii.. pagii.” Sapanya riang pada Oma Hesti.
“Pagii, Vel.” Lalu mengarahkan pandangannya kearah Marvel.
            Seperti yang diingat Ocha, Marvel hanya tersenyum datar tanpa ekspresi. Dia paham betul mengapa sepupunya begitu, memang sifatnya seperti itu gara – gara kedua orangtuanya bermasalah. Dia sendiri sebenarnya nggak begitu tahu apa yang terjadi dengan keluarga Marvel tapi yang jelas rumit. Itu saja yang dipahami selebihnya dia sama sekali nggak tahu bagaimana Marvel.
            “Pagi juga, Ocha.” Balas Oma Hesti. “Kamu bahagia sekali keliahatannya.”           
“Hehe, ya dong Oma. Hari ini tuh, hari pertama Ocha sekul jadi ya harus bahagia alias happy.
“Sekul ?” Tanya  Oma bingung, kurang memahami bahasa ‘pendatang’ kayak Ocha.
“Sekolah maksudnya, Oma.” Sahut Marvel datar dan tanpa ekspresi sambil mengunyah roti panggangnya.
“Ohh sekolah..”
“He-eh.”  Kemudian Ocha duduk disamping Oma menyantap rotinya dengan sopan.
            SMA  Fantastic. Sekolah yang dimana hanya murid – murid berprestasi saja yang bisa masuk kemari. Jangan salah, mereka tidak semuanya memakai kacamata. Sebagian dari mereka memang termasuk kategori kutubuku, suka menyendiri, hobi pakai kacamata tapi itu hanya sebagian kecil saja. Sisanya, mereka semua terlihat seperti model dan artis. Bisa dibilang sekolah bagi calon artis tapi untuk gaya berpakaian tetap rapi.
            Contohnya adalah cowok cakep yang sedang bersandar di dekat gerbang seolah tiang listrik tinggi menjulang. Gayanya keren, tangannya terlipat di dadanya. Sesekali ia menggerutu, bergumam, dan terakhir termenung. Entahlah apa yang sedang dipikirkannya hanya dia dan Tuhan saja yang tahu. Mungkin juga tidak.. yuuk kita intip.
            Prima menunggu, jangan salah sangka dulu nih. Dia nggak menunggu seorang cewek dalam kamusnya dia yang harus ditungguin cewek bahkan mungkin dia yang dikejar cewek. Tidak pernah sebaliknya. Yah, cukup tentang cewek. Saat ini, dia sedang menunggu sepupu – sepupunya yang belum datang. Roger, Foga, dan Regina. Sebenarnya ada satu lagi yaitu Nora, adiknya hanya saja anak itu sedang di skors ditambah lagi hukuman khusus dari Eyang kakungnya gara – gara ketahuan pernah ngerjain si Regina. Yah.. itu sih memang dasar Nora-nya aja yang iri sama Regina. Susah buat hilangin sikap anak – anak Nora karena terbiasa dimanja sih dari kecil. Dan satu rahasia sudah terungkap sekarang, dikeluarga besar Eyang kakung kalo ternyata Foga bukan cucu Eyang. Untuk menjadikan Foga cucu Eyang kakung, Regina bakalan jadi tunangan deh sama dia.
            Yaah.. Foe sendiri juga udah jatuh cinta ama Regina. Kira – kira gue bisa nggak ya, jatuh cinta kayak  Foe. Betah lama – lama sama satu orang cewek dan setia dalam artian sebenernya. Batin Prima seraya menghela napas.
            Tanpa ia ketahui, seorang cewek sedang memperhatikannya sedari tadi. Cewek itu terlihat bingung dengan sikap cowok yang nggak sengaja dia lihat dan dia perhatikan. Berdiri melamun, memikirkan sesuatu. Lamunan Prima terhenti, ia menatap cewek yang berada dihadapannya sekarang. Ia meluruskan kakinya untuk berdiri setelah ia bersandar tadi.
            “Kenapa lo ?.”  tanyanya datar dengan sorot mata yang sedang menilai cewek dihadapannya.
            “Hehe, nggak. Aneh aja liatin cowok sendirian bengong.” Jawab cewek itu, suaranya halus dan lembut.
            Prima yang nggak terima dibilang aneh agak bête. “Apa sih yang aneh ?.” gerutunya.
            “Ocha, baru pertama kali lihat cowok ngelamun pagi – pagi. Biasanya temen – temen cewek Cha yang sering kayak gitu.”
            Namanya Ocha ya?. Batinnya.
            “Baru pertama kali ? Paling juga lo cuma ‘caper’ ke gue.” Nadanya terdengar bangga. Ya iyalah, seantero sekolah tahu dia siapa dan bagaimana. Kalo mau tanya aja sama cewek – cewek disini tentang cowok keren satu ini.
            Ocha tertawa kecil dan memperlihatkan giginya yang putih juga rapi. Bibirnya menipis ketika tersenyum matanya yang bulat sempurna seperti bola pingpong. Rambutnya pendek tapi itu semua kombinasi yang pas membingkai wajah mungil cewek itu.
            “Cha itu nggak suka sama kamu, lagipula tipe cowoknya Ocha tuh yang pinter dan baik. Nggak kayak kamu, udah galak , kepedean banget lagi.” Ucapnya polos.
            “Wah… menghina aja lo.. nggak tau apa gue ini…”
Kalimat Prima terputus, ketika seorang cowok yang dikenalinya tiba – tiba muncul dan menarik Ocha pergi. Ocha Cuma tersenyum dan berlalu bersama Marvel.
Gila juga thu cewek, nggak tahu apa gue kelas 3 disini… tapi apa hubungannya ya ?. akh.. aneh. Gerutunya membatin.
“Tapi.. yang tadi itu Marvel-kan… kenapa dia bareng cewek ?” Gumamnya sedikit penasaran.
“Hayo ! Kenapa lo, Prim ?”
Ternyata Roger dan Foe sudah datang.
“Nggak kenapa.” Sahutnya. “By the way, kenapa baru dateng lama banget. Trus.. si Regi mana ?” tanyanya pada Foe.
“Dia nggak masuk hari ini, ikut Eyang ke makam nyokap.”
“Eh,  masuk yuk. Bentar lagi bel nih. Ngobrol aja sih.” Gerutu Roger kearah kedua sepupunya dan mereka—Roger, Foe, Prima—pun masuk kelas masing – masing. Karena roger sendiri masih kelas 2.
Jam istirahat. Prima jarang banget ke kantin, bisa dihitung berapa kali dia mendatangi kantin selama dia bersekolah di SMA FC. Biasanya sih dia bareng sama Foe juga temen – temen yang memang akrab sama dia ke lapangan basket. Sekedar olahraga saja, dia nggak pernah minat sama basket tapi dia tahu tentang cara bermain bola basket.
“Vel…” Panggil Prima saat ia selesai dan memutuskan untuk rehat sejenak setelah lelah berlari – lari tadi.
Marvel hanya menatap dengan sorot ‘apa ?’.
“Tadi pagi lo bareng sama cewek lo, ya ?.”
Tanpa basa – basi, lagipula Marvel juga teman sekelas, sebangku, dan satu ekskul dengannya. Jadi tidak masalah dia bertanya. Hanya bertanya.
“Kenapa ? Naksir lo ?”
“Ehm.. tumben aja gue liat, pokerface kayak elo bawa cewek. Lagian gue baru pertama kali liat tu, cewek.” Ujar Prima.
“Ya iyalah. Dia murid kelas satu baru, pindahan dari Bali. Anaknya baik sih, suka senyum, dan dia kebalikan dari gue, Prim.”
“Jadi elo jatuuh cinta nih ama dia ?.”
“Atas dasar apa lo bilang gue, cinta sama dia…”
“Ya, abis tumben aja elo bareng cewek dan elo cerita kalo dia baek.”
“Gue sejak kecil bareng dia, jadi gimana nggak bilang dia baek. Lo bayangin dia cewek paling polos kedua setelah Regina pacarnya si Foe.”
“Masa’ sih ?.”
“Ya begitulah, kenapa sih lo tanyain dia ?.”
“Nggak. Tadi pagi tu cewek ngliatin gue, gue dibilang galak sama dia.”
“Cuman satu yang gue minta dari elo nih, Prim. Jangan coba – coba jadiin dia koleksi cewek – cewek lo ya. Karena gue nggak bakal ngebiarin itu, lo tau kenapa ?.” Wajah Marvel terlihat serius, tumben dia punya ekspresi seserius itu.
“Karena dia itu udah gue anggep adek gue, jadi kalo lo macem – macem gue berani taruhan hari lo yang indah jadi suremm…” lanjutnya.
Prima menelan ludah terkejut dengan sikap serius Marvel.
“Emang gue mau jadian apa sama dia, lo kok jahat amat sama sohib lo..” gerutu Prima.
“Sebenernya sih, gue nggak masalah dia pacaran ama siapa, mau elo deketin juga boleh asal elo nggak buat nangis aja.”
“Iya, iya… lo tuh. Gue juga nggak yakin bakalan deketin dia, cewek aneh gitu.”
“Kenapa lo baru sadar dia aneh. Hehehe.” Marvel tersenyum kearah sahabatnya itu. “Gue nggak becanda masalah bikin dia nangis tapi masalah elo mau gebet dia atau apa terserah, gue nggak suka resek.”
“Hahahaha, anjriiit lo. Gue kiraaa lo naksir dia, ampe segitunya lo.”
“Nggak mungkin, gimanapun dia itu sepupu ter-unik gue.”
“Aneh kali maksud lo… hehe.”
“Dia emang gitu, dari kecil suka banget merhatiin hal – hal yang nggak penting dan sepele.”
“Jadi maksud lo, gue nggak penting ?.”
“Iya ! Lo nggak penting, kebanyakan cewek sih.” Marvel tersenyum lagi kepada Prima.
“Resek lo yee.. gue timbuk pingsan lo, pokerface.
“Udah deh, masuk yuk. Bentar lagi bel nih, lagian lo udah selesai mainnya kan ?.”
“Yap. Ayo deh gue juga udah capek nih.”
Aneh banget nih pokerface nggak biasanya dia begitu. Mungkin emang bener kali ya, dia cewek baek. Hehe. Akh.. apaan sih. Aneh. Pikir Prima sambil berjalan menuju kelasnya dengan Marvel.
            Hari pertama sekolah, Ocha telah mendapatkan teman baru. Sophie, cewek yang baik, ramah banget mungkin dia bisa jadi teman akrab Ocha.
            “Ehmm.. Cha, elo nggak kesepian apa ditinggal terus ama ortu lo dari kecil ?.”
            “Mungkin dulu iya, tapi udah biasa kok, Cha itu nggak mau jadi anak manja terus.” Sahutnya. Saat mereka sedang makan dikantin.
            “Oh, emang sekarang ortu lo dimana ?.”
            “Ehmm.. lagi di New York. Disana lagi ada tugas aja sih. Kenapa sophie kok tanya ortunya, Cha ?.”
            “Nggak. Gue penasaran aja, apa elo nggak sedih gitu ditinggal terus.”
            “Nggak kok. Oiya, disini Ocha tinggal bareng Eyang Hesti dan Marvel kok.”
            “Marvelo, maksud lo ?.”
            “Iya. Ehmm.. ngomong – ngomong bangku itu punya siapa sih kok kosong, Soph ?.” Ocha terlihat penasaran.
            “Regina panggil aja Regi. Dia lagi izin, Cha.”
            “Oh mau kenalin Ocha ke dia nggak ?”
            “Pastinya dong. Tenang aja.”
            “Waaahh.. makasih ya, Cha seneng tambah temen.” Ucapnya polos.
Lho kok makasih ??. batin Sophie.
            “Ocha, Sophie ! kalian tidak dengar bel tanda pelajaran sudah berbunyi, kenapa masih duduk dan santai dikantin ?!.” suara guru BP yang kebetulan lewat mengagetkan mereka—Sophie dan Ocha—berdua.
            “Hehe, ibuuu’…” ucap keduanya sambil tersenyum ala kuda alias nyengir.
            Sebulan berlalu, kini Ocha telah banyak memiliki teman seperti yang ia harapkan. Mereka semua sangat menyukai Ocha dengan sikap cewek itu yang ramah, lemah lembut dalam bertutur kata, selalu tersenyum. Hari – harinya sangat menyenangkan. Sampai tiba hati itu, hari dimana semua kehidupannya di SMA FC berubah drastis. Dia—Ocha—pun  tidak akan menyangka, kalau semuanya akan begitu berubah seperti itu

Cerita 2 (No More)


Pagi itu dirumah Kei yang tenang terasa riuh. Penuh dengan irama dan melodi yang dinyanyikan sepupunya, Dian. Ia memandang Dian sedikit sinis karena seminggu ini dia bersenandung terus akibatnya, Kei jadi kurang berkonsentrasi dengan kerjaannya. Benar – benar mengesalkan.
Ada apa sih dengan anak ini, dasar ababil. Kenal cowok aja begitu, deeeehh kapan kelar novel gue kalo gini caranya. Batinnya.
            “Eh Mbak Kei, sarapan Mbak ?.”
            “Din. Elo bisa berhenti nyanyi begitu nggak, gue ngejar deadline nih.” Gerutu Kei pagi itu dengan secangkir coklat panas ditangannya. Ia tidak berniat sarapan. Ia sangat tidak butuh makanan untuk hari ini. Setidaknya untuk beberapa jam kedepan.
            “Lohh kenapa, Mbak ?.”
            “Kalo lagi jatoh cinta mending elo cari cara lain buat mengekspresikannya, mungkin dengan cara bantu inah masak. Atau bisa aja lo jalan – jalan kek ketaman, asal jangan nyanyiiiiii sepanjang elo jalan dirumah ini.” Gerutunya.
            “Iyaaa sorii deh, Mbak. Hehehe.”
            “Okelah. Awas lo nyanyii, gue pindahin kamar lo ke tempat karokean, aja sekalian.”
Dian tertawa. “Mbak Kei ada aja nihh..”
Kei mulai berjalan menaiki tangga dan masuk ke kamarnya tapi, idenya sedang kosong begitu duduk di depan komputernya. Jelas saja dia agak kesal. Ditambah lagi ponselnya hilang entah kemana, sangat mengesalkan. Dia meletakkan cangkir coklat panas itu disamping computer dan masuk ke kamar mandi.
            “Cewek kemaren itu elo kenal ?.” tanya Roy pada Nando.
Nando menatap sahabatnya dengan tatapan penuh kecurigaan. Baru kali ini anak itu menanyakan seorang gadis bahkan dia masih belia, ABG. Tidak biasa dari seorang Roy.
            “Dari penyelidikan, Om Hendra. Dia sepupu Keisya, masih SMA kelas dua. Sekolah di Sanjose. Dulu SMP di Bandung, lahir disini.” Ucap Nando.
            “Jadi elo bakal ngedeketin dia untuk bisa ketemu, Keisya ?.”
            “Nggak.”
            “Teruss ?.”
            “Gue juga baru tau.”
            “Lucu banget. Kalo gue nggak kenal elo, gue pasti udah hajar elo.”
            “Lo suka ?.”
            “Apaan omongan lo barusan ?.”
            “Apa yang salah ?.” tanya Nando
Roy menatap sahabatnya. Ia sama sekali tidak berpikir untuk jalan dengan gadis belia yang bahkan mengatainya. Tidak akan. Mungkin. Ia sedikit ragu dengan perasaannya. Sejak melihat senyum manis gadis itu, dia selalu terbayang dan berharap bisa bertemu lagi. Apakah itu artinya dia menyukai gadis kecil itu ?.
            “Coba aja, siapa tahu dia bisa menggantikan Tere.” Ucap Nando ketika mendapati sahabatnya termenung.
Nando pergi meninggalkan Roy yang terlihat sedang berpikir. Ia melihat seseorang yang memang ingin ditemuinya keluar dengan mobil jazz putihnya. Ia senang bisa memperhatikan gadis itu dari dekat. Ini semua juga berkat sekretaris ayahnya, Om Hendra. Dia pria yang baik dan sangat bisa diandalkan.
Dia mengeluarkan mobil jeep-nya dari garasi. Berniat mengikuti gadis itu dan bertekad kali ini dia akan bisa menemukan gadis yang dulu menyayanginya dengan penuh ketulusan terlepas dari segala kesalahan yang ia lakukan di masa lalu. Gadis yang dulu membuatnya begitu kagum dengan semua ketabahannya.
Nando sedang mengemudikan mobil sportnya dengan kecepatan sedang. Ia memang tidak terburu – buru dan saat ini ia tengah mengira – ngira bagaimana pendapat gadis itu jika tahu, ia memberikan hadiah untuknya. Belakangan ini ia berubah karena Keisya. Tiba – tiba ponselnya berdering.
“Yaa haloo…kenapa Roy ?”
Suara Roy terdengar putus – putus. “Addduh, ‘ntaran aja yah, gue lagi nyetirr niiih.”

Klap !! ia menutup ponselnya.

Ia melihat seorang lelaki mengejar wanita paruh baya yang cukup cantik. Terkejut ketika wanita itu berlari kearah mobilnya. Tanpa berpikir ia menginjak Rem sekuat tenaga. Wanita itu jatuh terkulai bersimbah darah. Lelaki yang ia lihat tadi menghilang berlari menuju kegelapan. Ia menatap lelaki itu wajahnya tidak terlihat hanya punggungnya.
Dengan cepat ia segera turun, menggendong wanita itu membawanya segera ke rumah sakit terdekat. Setelah mendapat perawatan wanita itu dinyatakan meninggal karena kehabisan darah. Ia takut. Hari itu ia sangat ketakutan. Ia telah menjadi pembunuh.
Ia menelpon Roy. Dengan segera sahabatnya itu menyusulnya.
            “Ada apa ?.”
            “Gue nggak tau, Roy. Dia lari kearah mobil gue karena ada yang mengejar dia, gue berusaha nyelametin dia. Guee.. diaa meninggal Roy. Apa gue pembunuh ?”
Roy menatap Nando. “Tenang , Do.”
Ia sangat terkejut. Melihat wanita yang terbaring itu, ia tidak salah melihat.
            “Dia.. bukannya dia nyokapnya, Keisya ?.”ucapnya lagi.
            “Apa ?! siapa lo bilang barusan ?.” Nando sangat merasa tertekan begitu tahu yang ia tabrak adalah nyokap dari gadis yang ia cintai. Hatinya luruh dalam kesedihan. Ia terpuruk ke dasar lubang di dalam hatinya sendiri.
Roy menyeret Nando yang tampak begitu terperanjat pulang. Sebelumnya ia menelpon Om Hendra dan menyuruh beliau membereskannya. Tapi sebelum itu seorang suster memanggil Roy entah masalah apa.
            “Om, tolong yah. Nando bener – bener shock. Dia sampai nggak bisa bicara.”
            “Tentu.” Ucap Om Hendra.
Roy mengendarai mobil sport itu, mencucinya hingga tidak ada bekas darah sama sekali. Ia menelpon ke rumah Keisya dan yang menjawab hanya pembantu mereka. Mereka bilang keluarga Keisya ke rumah sakit. Pestanya kacau karena Keisya sangat histeris hingga tidak dapat melanjutkannya.
Keesokan harinya,
Nando datang ke rumah Keisya dengan tatapan sangat bersalah. Gadis itu terlihat diam, wajah cantiknya berkesan dingin. Tidak ada airmata, mungkin ia lelah seperti kata Roy. Kemarin malam ia menceritakan semua padanya.
            “Sya..”
Keisya yang belum tahu apapun menghambur berlari kearahnya, memeluknya erat.
            “Do, Bundaa b-bundda…” isaknya suaranya mulai gemetar.
            “Syaa tenang..” ucap Nando.
            “Bunddaaku, bunda janji mau hadir dan bawa buku novel terbarunya, Do. Dia b-bilaangg gitu waakttu ditelfon. Kenapaaaa ini terjadi sama Syaa, D-ddoo.. hhhuuhhhuu…” ia tersedu – sedu.
Nando menatap gadis itu dengan perasaan bersalah yang sangat besar. Ia tidak ingin kehilangan gadis itu, ia sangat berharap malam itu bukan dirinya yang membawa mobil. Ia tidak pernah berpikir hal semacam ini akan terjadi padanya.
Tidak pernah sekalipun.
Keisya memarkir mobilnya. Hari ini dia ke rumah Ervan editor sekaligus teman kuliahnya dulu. Ketika mereka masih duduk dibangku kuliah dulu, Ervan pernah menyatakan perasaan padanya. Tapi, begitulah Kei. Ia menolak dengan saanggaaat halusnya, sampai – sampai Ervan masih tetap tidak bisa memalingkan hati dari gadis itu. Ervan tahu, kalau gadis itu berbeda. Tidak seperti gadis kebanyakan yang mudah sekali untuk ditaklukan.
            “Tumben lo kemari, Kei ?.”
Ervan terlihat duduk dengan santai. Di teras rumahnya.
            “Bosen di rumah denger ababil nyanyi melulu.” Gerutunya.
            “Diandra ?.”
            “Menurut lo ada yang laen ?.”
Ia menyeruput es jeruknya. Ia senang jika Kei menggerutu, gadis itu jarang menampakkan ekspresinya. Bersyukur sekali dirinya karena masih bisa melihat ekspresi di wajah manis gadis itu.
            “Terus lo mau gimana, namanya juga orang jatuh cinta. Elo aja kali yang abnormal.” Ledek Ervan.
            “Abnormal ?” Kei mengerutkan keningnya. “Jadi waktu elo suka sama gue, elo juga nyanyi seperti dia dan apa elo normal suka sama orang ‘abnormal’ ..?” balas Kei.
            “Becanda Non, elo tuh. Sinis banget, pedes lagi ngebalesnya.”
            “Salah lo, ngatain duluan.”
Ervan terdiam sejenak. Menatap gadis itu dengan seksama, ia suka melakukannya. Ia sering melakukannya tapi sekarang rasanya mungkin semuanya memang berbeda.
            “Kalo gue duluan dateng dari cinta pertama lo itu, apa lo bakal terima gue, Kei ?.”
            “Nggak.”
            “Aduh, nii anak bikin hati orang patah terus.”
            “Salah lo naksir gue.” ucapnya tanpa basa – basi.
            “Itu tandanya gue normal, suka sama cewek cantik. Elo seneng kalo gue dikatain gay ya. Dasar !” gerutu Ervan.
            “Udahlah. Elo pasti nemu cewek yang lebih dari gue.”
            By the way, kenapa gue nelpon elo tapi cowok yang angkat kemaren ?.”
            “Cowok ?.” ia mengerutkan kening. “Hape gue ilang, Van. Kemaren waktu di..” Kei teringat sesuatu tentang orang itu.

Nando menunggu dengan perasaan campur aduk mirip seperti es campur di dalam mobil jeep-nya. Ia ingin gadis itu segera keluar. Jujur saja ia merasa sedikit gelisah. Ia menelpon Om Hendra beberapa menit yang lalu dan menyuruh beliau menyelidiki pemilik rumah itu. Yang didapat adalah cowok itu teman kuliahnya dan ia menyukai Keisya. Itu membuatnya sedikit cemburu. Seandainya peristiwa itu tidak pernah terjadi.
Dan tidak berapa lama, gadis itu keluar. Ia melihat seseorang yang ada disebelahnya berjalan perlahan sambil mengunyah permen karet.
Samar – samar di dengarnya, laki – laki itu berkata “Hati – hati.”
Gadis itu hanya menatapnya dan mengacungkan ibu jarinya sebagai pertanda ‘iya’. Sepertinya banyak hal yang berubah darinya memang. Tapi, tidak seluruhnya ia masih tetap gadisnya yang dulu. Seorang penyayang dan penuh ketulusan. Ia yakin seyakin perasaannya untuk gadis itu.
Keisya menatap tidak percaya pada apa yang didengarnya ini. Dia sangat terkejut dengan pengakuan Nando. Malam itu, malam itu ketika bundanya meninggal. Ia disana, ia yang menabrak bundanya. Ia yang membuat segala hal tentang bundanya kini menjadi sebuah kenangan. Bunda yang ia sayangi, orang yang melahirkannya kedua. Bagaimana bisa dia bersama seorang yang telah melakukan hal ini pada bunda.
            “Sya, gue nggak sengaja. Gue nggak sengaja dan gue nggak lari. Tolong percaya gue, gue bener – bener nggak sengaja.”
Wajah Keisya pucat berkesan dingin.
“Do, aku terima kalo kamu punya cewek lain atau nyakitin aku sesakit apapun aku bakal maafin kamu..” ucapnya dengan nada yang belum pernah didengar Nando terucap dari seorang Keisya.
“..tapi, untuk kali ini, maafin aku. Aku nggak bisa, kamu merampas hal terpenting dari aku, kamu nggak berhak mendapatkan kepercayaan dari aku lagi. KAMU PEMBUNUH BUNDAKU ?!”
Tatapan benci dimata Keisya membuat Nando merasa terpukul. Dia kehilangan gadisnya. Dia kehilangan gadis yang ia cintai melebihi dirinya. Ia menangis, memohon kepada gadis itu. Dan berlutut dihadapannya. Tapi, sekeras apapun usahanya untuk menahan kepergian gadis itu. Semuanya sia – sia belaka.

Semuanya telah berakhir.

Setelah malam itu, Nando sama sekali tidak dapat menghubungi gadis itu. Keberadaan gadis itu tidak diketahui. Ia lenyap seperti ditelan bumi.
Ia hanya berharap jika suatu hari bertemu lagi, ia akan menceritakan semuanya. Keseluruhannya.
            “Cepet balikin HAPE gue !!! Kenapa elo ganggu hidup gue sih ?!.” Bentak Kei di telepon. “Mau lo apaaa ?!”
Nando tersenyum. Dia benar – benar tidak menyangka gadis itu sangat galak. Mungkin inilah sisi lain dari gadis yang ia sayangi.
            “Gue mau kita ketemuan.”
            “Buat apa ?! Gue benci sama elo, jijik gue liat muka lo !” geramnya meledak.
Sampai Inah tidak berani keluar karena baru kali ini mendengar majikannya semarah itu. Seumur – umur dia jadi pembantu disini nggak pernah tuh Mbak Kei seperti itu. Marah kayak orang kesurupan jin belum beranak. Bener – bener menakutkan.
            “Syaa, kenapa sih elo galak banget sama gue. Mungkin enam taon emang nggak cukup buat nebus kesalahan gue, meskipun bukan gue pelakunya. Tapi, elo nggak harus kayak gini dong.” Ujarnya.
Meski dalam hati dia berharap gadis itu tidak berhenti marah – marah seperti ini. Marah lebih baik daripada ia berpura – pura tidak mengenalnya.
            “Balikin hape gue !”
            “Kita ketemuan.”
            “Nggak !”
            “Terserah elo, mau hape lo balik atau nggak, Sya.”
Nando telah kehabisan cara hanya ini yang bisa ia lakukan. Untuk bertemu dan mendapatkan kembali kepercayaan Keisya.
Gadis itu terdengar menghela napas, mungkin inilah akhir perdebatan mereka sedari tadi ditelepon.
            “Oke, ketemuan dimana ?”
            “Di Pantai kemaren waktu elo jatuhin hape lo, gimana ?.” ia tersenyum.
            “Jauh. Males gue.” sahutnya jutek.
            “Gue ke rumah lo ?.”
            “Nggak usah ! kita ketemu di lapangan Renon. Deket Museum aja.”
            “Sekarang ?”
            “Taon depan, ya sekarang kapan lagi !”
Dengan kasar Kei membanting gagang teleponnya. Ia sangat kesal. Cowok itu begitu mengesalkan dengan gayanya yang santai. Dia berbeda dengan Nando yang dulu ia kenal tapi, dia tetap seorang yang patut dijauhi. Perasaanya gusar campuran antara marah juga kesal dengan dirinya yang masih saja bisa ceroboh menjatuhkan benda – benda. Menyebalkan.
Dian yang baru saja datang dari sekolah sedikit terkejut dengan amarah yang ditunjukkan sepupunya itu. Benar – benar bukan Mbak Kei sekali. Marah – marah sampai membuat seisi rumah bernuansa seram.
            “Kenapa siih Mbak. Kok banting – banting telepon gitu ?.” tanyanya.
Mbak Kei diam. Ia tidak mau menjawab sama sekali. Dian sedikit kebingungan dengan sikapnya itu.
            “Din, Mbak mau keluar.” Ucapnya. Tanpa berkata – kata lagi langsung menuju garasi dan mengeluarkan mobil jazz berwarna putih miliknya.
            “Adduh, kenapa lagi nih sama si Mbak Kei. Apa gue perlu nelpon Om Rendi kali yah.” Ia menghela napas pendek. Ternyata tugasnya disini buat ngawasin Mbak Kei lumayan buat hepi tapi juga membuat harus ekstra kerja keras untuk memahami sikap Mbak Kei.

Roy memperhatikan sahabatnya. Dia sedikit mengerti kenapa anak itu senyum – senyum sendiri. Dia pasti sudah tahu caranya supaya Keisya mau bertemu dengannya. Dia juga iri banget sama sahabatnya ini. Selalu berpikir cepat tidak seperti dirinya yang lamban dan sangat sulit bisa mengutarakan isi hatinya yang sebenarnya dihadapan gadis manapun.
            “Kenapa ?.” Nando melihat Roy memperhatikannya.
            “Nggak.” Sahut Roy.
            “Udah lo telepon belom, Dian itu ?.”
            “Buat apa. ABG gitu.”
Nando tersenyum. “Elo kebanyakan mikir, Roy. Mungkin gue juga tapi, seenggaknya elo itu nggak seperti gue, Roy. Yang menghancurkan ceweknya sendiri.”
            “Do, elo nggak salah. Lagian siapa sih yang nyangka bakal ada kejadian setragis itu.” Ucap Roy.
            “Memang. Dia belum bisa terima aja,  Roy. Dan gue juga belum nemuin laki – laki itu, Roy.” Tatapan sahabatnya jauh lurus kedepan entah apa yang ia lihat.
Mungkin jika saatnya tiba, Roy harus bilang sesuatu pada sahabatnya itu. Tidak untuk saat ini. Segala hal ada waktunya. Batinnya.