Rabu, 14 Desember 2011

Cerita 3 (No More)

Gadis itu memandangnya dengan sinis. Tatapannya nggak selembut dulu. Biar begitu ia tetap saja Keisya yang ada dihadapannya saat ini adalah gadis ceroboh. Dia adalah dia sekalipun waktu telah membuatnya menjadi pribadi yang sedikit kaku.

Nando tersenyum sendiri, ia ingat ketika menolak pindah ke Bali. Ia tidak mau kemari karena ia sudah betah tinggal di Korea. Terlebih lagi disana ia punya pekerjaan tetap sebagai model. Namanya juga cukup terkenal.

Ia terpaksa kemari karena gossip bahwa ia memiliki hubungan khusus dengan salah satu rekan kerjanya ditambah lagi issue tinggal serumah. Ia sendiri bingung darimana media menyimpulkan hal seperti itu. Itu sedikit menyebalkan tapi, ia merasa beruntung kali ini dengan adanya gossip itu. Jika tidak bagaimana ia bisa bertemu gadis yang ia cari – cari keberadaannya hingga hampir saja putus asa.

“Kenapa lo nyengir ?!”

“Memang gue keliatan nyengir ya ?”

“Udah deh, nggak usah basa – basi. Cepet balikin hape gue.”

“Ada syaratnya..”

Kei sudah menduga hal ini akan terjadi dan ia jadi semakin ingin mencakar – cakar wajah tampan cowok itu. Kalau saja ini bukan tempat umum dia pasti sudah kalap. Kalap memutilasi cowok itu dengan tanpa ampun sama sekali. Kalau saja ponselnya itu bukan ponsel pemberian almarhumah bundanya. Ia tidak akan sekesal ini. Bahkan ia akan merelakan ponsel itu untuk cowok menyebalkan dihadapannya.

“Apa ?.”

“Seminggu aja, elo nemenin gue jalan – jalan di Bali.”

“Dan gue berharap elo nggak muncul lagi setelah seminggu itu usai.” Ucap Kei dingin.

“Itu nggak adil, tapi cukup adil kalo inget kesalahan gue di masa lalu.” Balas Nando sama dinginnya.

“Kapan lo balikin hape gue ?”

“Diakhir minggu.”

“Oke.”

“Dan hmm.. satuu lagi, dateng ke rumah gue. Daerah sini, nggak begitu jauh..” ujarnya. “Tapi nggak sekarang, besok.”

“Ya.”

Nando berharap Kei marah sejujurnya tapi, itu diluar dugaan sekali. Ternyata gadis itu menerimanya dengan santai. Itu sedikit melegakan buatnya.

Dian memperhatikan sepupunya dengan seksama. Mencoba mencari sesuatu yang membuat Mbak Kei terus cemberut sejak tadi siang. Sepulangnya dari lapangan Renon. Ia jadi takut kalau Mbak Kei seperti ini. Selalu tidak pernah membuka diri pada orang lain. Jadi bingung harus berbuat apa.

“Lo nggak makan, Din ?.” tanyanya. Membuat Dian sedikit kaget.

“Emm, i-iya Mbak. Nih lagi makan kok.”

“Kalo lo mau tau gue kenapa, gue cuman lagi ada urusan sedikit yang belum kelar sama seseorang. Elo nggak harus tau, Din. Karena itu urusan gue, oke.” Ucap Kei seakan bisa membaca pikiran Dian dan ucapannya sangat tidak bisa dibantahkan.

Bener – bener deh. Mati kutu gue, ngadepin Mbak Kei. Batinnya.

“Iya Mbak, Dian cuman khawatir aja, Mbak kenapa – napa.”

Kei bangkit dari meja makannya dan berniat masuk ke kamar. Sebelum ia menaiki tangga, ia berbalik dan berkata, “Makasih elo udah khawatirin gue, Din. Elo sepupu yang baik.”

Dian tertegun. Baru pertama kali ia melihat senyum setulus itu dari Mbak Kei.

Nando gelisah menunggu gadis itu, ia sendiri sebenarnya sangat tidak percaya dengan apa yang ia katakan kemarin. Akan pergi jika seminggu berakhir, mana mungkin dia bisa tanpa gadis itu. Bagaimana bisa dia begitu bodoh mengucapkan hal sesulit itu. Terlalu sibuk dengan pikirannya sampai tidak mendengar kalau bel pintu rumahnya mengema sedari tadi. Ia membuka pintu perlahan. Dan mendapati Kei sedang berdiri dengan pakaian yang sederhana namun begitu memakau untuk mata Nando.

“Emm, masuk.” Ucapnya.

“Lo mau nyuruh gue ngapain sih ?”

“Masuk dulu gih.” Pintanya lembut. Kei terlihat enggan tapi, ia tetap masuk.

Ia berusaha tidak memperhatikan sekitarnya, ia tiak ingin peduli bagaimana ia sejujurnya gembira bisa kemari. Tidak akan pernah ia mengakui pada Nando, ia sangat terpukau dengan suasana rumahnya.

“Gue mau minta tolong elo, beresin kamar gue.”

Kei menatap dingin kearahnya. “Kenapa gue, elo bisa sewa orang lain. Apa elo punya niat tertentu sama gue ?”

“Nggak, jujur aja gue lebih suka elo yang ngerapiin daripada orang lain. Elo tau gue kan, gue nggak suka ngebiarin siapapun masuk kamar gue. selain yah, lo taulah siapa yang pertama dan terakhir masuk kamar gue.”

Kei tidak mau mengingat hal itu lagi, ia tidak mau mengingat kejadian terakhir kali ia bertemu. Ia memejamkan mata, perlahan untuk menenangkan diri melupakan hal itu sejenak. Ia tidak mau mengingatnya. Tidak ditempat ini. Tidak juga di depan cowok ini.

“Emm, satu lagi. Ini buat lo, hape itu bisa lo pake dulu. Gue udaah masukin sim card lo. Hape lo masih gue sita dan ditaruh ditempat yang aman.”

“Gue benci banget ama lo.” Gerutu Kei.

“Gue nggak pernah benci elo. Elo tau itukan ?”

Kei dengan segera membuang muka. Ia benci sekali pada dirinya. Enam tahun lamanya ia tidak pernah bertemu dengan cowok ini tapi, bagaimana bisa perasaan yang dimilikinya masih tetap sama. Tetap saja ia berharap, kalau saja bukan cowok itu yang menabrak bundanya.

“Ikut gue, Sya.” Ia menarik tangan Kei dengan cepat dan tidak bisa melawan ketika cowok itu buru – buru membawanya naik ke lantai atas. “Ini kamar gue, lo bisa beresin dan gue mau keluar sebentar. Oke.”

Ia menarik tangannya dengan cepat. Ia sedikit terguncang dengan suara debaran jantungnya sendiri tapi buru – buru ia menguasai diri.

“Jangan sentuh – sentuh gue !” sergahnya kesal.

“Sori. Gue nggak sengaja.” Ucap Nando. Ia terbawa suasana sedikit, sungguh.

“Jangan seenaknya.”

Nando terdiam sejenak. “Gue keluar dulu, gue harep udah beres setelah gue pulang.” Ucapnya. Dan menuruni tangga dengan cepat suara langkahnya menggema.

Nando sedang duduk terdiam di pantai ketika ia disapa seorang gadis abg bernama Dian yang tidak lain adalah sepupu Keisya. Sedikit tertegun juga melihat gadis itu hampir tidak mirip anak abg seusianya. Dia mirip Keisya, hanya saja sudah pasti Kei lebih cantik dimatanya daripada gadis di depannya.

“Sendirian aja, nih ?” sapanya.

“Yap. Gue lagi sendiri aja.”

“Ehm, by the way, nomer yang gue kasih nggak lo buang kan ?”

Ia mulai menyadari, gadis itu ingin tahu apa yang membuatnya terlihat tidak menarik sementara Roy—sahabatnya—terlihat sedikit terpesona.

“Sori banget, Din. Gue punya satu orang yang gue sayang, dia satu – satunya orang yang bisa buat nangis, Din. Diaa.. marah sama gue karena satu hal dan itu bukan salah gue sebenernya. Cuman salah paham.”

“Kenapa orang yang buat lo nangis, malah elo pertahanin, Do ?”

Dian tampak kurang setuju tapi, ia masih ingin tahu seperti apa gadis yang membuang cowok sekeren Nando. Apa gadis itu sudah kurang waras atau matanya sudah katarak ?. Ia benar – benar tidak habis pikir sama sekali.

“Gue playboy, itu dulu sebelum ketemu cewek itu. Enam tahun lalu gue pisah sama dia dan nggak sempat meluruskan kesalahpahaman diantara kami. Sekarang ternyata gue ketemu dia disini dan gue nggak bakal buang kesempatan ini.”

“Hmm… waawwww ! keren deh, coba ada Mbak Kei disini. Denger cerita elo, dia pasti udah ngetik gila – gilaan deh. Hehee.”

“Mbak Kei ?”

Nando memasang wajah bingung dengan sengaja, meskipun ini terlihat kejam mengambil kesempatan dalam kesempitan. Ini satu – satunya cara ia tahu tentang Keisya-nya yang telah sedikit berubah menjadi gadis galak.

“Ya, dia sepupu gue dia penulis novel, sebenernya gue nggak boleh cerita tapi berhubung elo udah mau sedikit ‘curcol’ gitu ke gue. so I can talk about her.” Ucapnya.

“Hmm..”

“Dia itu sepupu gue yang paling gue sayang diantara yang lain karena dia satu – satunya yang peduli sewaktu gue dijahatin sama sepupu gue yang lain. Dia beda dengan anak seusianya sekalipun dia keliatan lemah dia itu kuat. Dia bahkan berani dan lemah lembut…”

Nando menyimak dengan hati berseri.

“..sebelum hari itu terjadi seenggaknya. Gue tahu, kehilangan itu emang sangat menyakitkan tapi, beda ceritanya kalo kehilangan seseorang yang melahirkan kita ke dunia, tepat dihari kita diberikan kehidupan. Sejak itu, dia nggak pernah lagi mau ngerayain ulang tahunnya, sejak itu ulang tahun buat dia adalah kenangan buruk sepanjang masa. Ia jadi orang yang nggak ramah, bahkan ia sama sekali nggak mau bicara sama siapapun.”

“Terus, lo sekarang tinggal bareng dia ?.”

“Iya, itu atas permintaan bokapnya. Dia khawatir. Mbak Kei kenapa – napa, Mbak Kei pernah pergi seharian dari rumah dan pulangnya pagi dalam keadaan setengah sadar. Pas sadar eh dia minta pindah kemari dan bilang kalo dia takut di Jakarta. Makanya deh ada beberapa hal dalam data pribadinya yang sedikit dirubah.”

Nando sekarang mengerti, pantas saja Om Hendra tidak dapat menemukannya. Karena Kei telah mengaturnya, Kei tidak menyisakan ruang untuk dirinya agar bisa bertemu dengannya lagi. Ia bahkan tidak tahu, Kei sangat depresi sampai bisa pergi ke tempat clubbing. Gadis yang ia kenal dengan sangat baik itu, bahkan tidak pernah sama sekali menyentuh minuman keras.

“Do ?” panggilan Dian mengembalikannya pada kenyataan.

“Ya”

“Kenapa elo diem aja ?.”

“Nggak apa, gue cuman mikir. Kenapa sepupu lo sampe segitunya, bukannya dia bisa pindah sekolah tanpa harus ngerubah apapun tentang data dirinya ?.”

“Emm, iya sih. Cuman Mbak Kei bilang, dia nggak mau ada orang yang ia kenal di Jakarta tahu kalo dia pindah kemari. Intinya dia nggak mau tahu lagi tentang Jakarta, dia nggak pengin inget segala hal yang ia lakukan di kota itu. Dia selalu nangis tiap kali mengingat kota itu, Do.”

“Hemm, mungkin ada alasan lain kan, siapa tahu.”

“Mungkin, gue sih curiganya masalah cowok tapi, dia jarang cerita kalo masalah cowok.”

Nando menatap hampa, ia ingin tahu bagaimana kehidupan gadis itu selama enam tahun terakhir. Ia mau tahu apakah gadis itu masih mengingatnya walapun hanya sedetik waktu yang ia miliki dan satu hal yang baru dari gadis itu. Ia adalah penulis novel. Sama seperti mendiang ibunya.

Laki – laki itu, siapa ? dan dimana laki – laki itu sekarang ?. pikirannya sedang sibuk sampai sama sekali tidak merespon ucapan Dian kalau ponselnya berdering.

Kei menatap sebal dengan dirinya di cermin milik cowok yang memaksanya mengingat kenangan yang sangat menyakitinya dan sangat ia rindukan. Dalam keheningan yang lama, ia sendiri merasakan kalau Nando sendiri sangat menyesal dengan apa yang terjadi. Cowok itu menemukannya disini, apakah dia bisa membaca hatinya yang sekarang. Kei tidak berani menebak dan mengharapkan cowok itu lagi. Tidak setelah peristiwa 6 tahun lalu.

“Nggak boleh lagi…” gumamnya dan meraih ponsel pemberian Nando mencari di kontak nama cowok itu.

Dian memperhatikan Nando dengan seksama, cowok itu sama sekali tidak memperhatikannya saat menerima telepon entah dari siapa. Ia menebak yang menelepon adalah gadis yang ia katakan barusan. Cowok itu kelihatan berbeda, matanya berbinar gembira. Dian telah merasa, kalah sebelum menyatakan cinta bahkan.

“Din, sori banget gue mesti balik.”

“Iyaa.. hati – hati aja, Nando.” Ucap Dian.

Setelah kepergian cowok itu ia menatap kearah pantai dan menghela napas agak gondok juga. Kalah sama orang yang bahkan belum dilihatnya seperti apa. Ini bukan sikap seorang Diandra, hanya saja cowok itu tadi begitu terluka saat bercerita tentang gadis yang membuatnya menangis.

Sedang asyik termenung tiba – tiba….

PUKK !

“Aduuh… sialan, siapa ?!” rutuk Dian dan saat menoleh mendapati teman Nando yang bernama Roy telah berada disampingnya.

“Ngapain lo disini kayak orang bego’ ??”

Dian merasa sebal sekali pada cowok disampingnya, masalahnya cowok itu berbeda dengan Nando. Sekali melihat ia tahu, cowok ini tidak begitu menyenangkan dari cara bicaranya yang jutek dan judes banget. Dian cemberut tidak menyahut apa yang dikatakan Roy.

“Ditinggal ama Nando ya, kasiaan banget lo. Ngarepin orang yang jelas – jelas naksir orang lain.” Ejek Roy.

“Siapa sih elo. Ngurusin urusan guee..”

Dian bangkit dari tempatnya berniat pergi meninggalkan Roy, ia sangat kesal dengan cowok itu.

“Abege, emang suka labil pantes aja Nando nggak demen ama lo.”

Dian menatap sengit kearah Roy dan dia membungkuk dengan berkacak pinggang kearah cowok itu.

“Sekalipun dia nggak suka gue, itu bukan bahan ledekan buat elo. Dasar perjaka tua lo !” Geramnya sambil pergi meninggalkan Roy sendirian.

Namun ia tersenyum penuh makna dan berlari mengikuti gadis belia yang membuatnya merasa penasaran.

“Tunggu woooii !!! dasar cewek ! hobinyaaa ngambekk !”

Nando mendapati Kei sedang tertidur di sofa ruang tengah. Gadis itu terlihat lelah dengan lingkar mata yang agak menggelap. T-shirt yang dikenakan sangat lucu dengan gambar anime. Ia membelai rambut gadis itu. Kini tidak ada kepang model gadis showa lagi. Gadis itu menggunting rambutnya pendek. Apakah karena terlalu terlukanya dengan peristiwa enam tahun lalu. Ia benar – benar telah berusaha semampunya mencari laki – laki yang dilihatnya malam itu.

Ia mengusap bibir mungil Keisya. Dulu sekali waktu dengan bibir itu gadis dihadapannya itu selalu bercerita tentang segala hal yang ia lakukan. Kini semuanya berubah, dia bukan lagi gadis yang penuh keceriaan dan Nando ikut andil dalam hal tersebut.

“Mmmhm…” gumam gadis itu sepertinya ia mulai terjaga. Dengan cepat Nando menarik tangannya dan berdiri dihadapan Kei. Benar saja gadis itu membuka matanya perlahan dan sedikit terkejut melihat Nando. Ia buru – buru bangkit.

“Udah lama elo dateng ??”

“Gue baru berdiri sekitar lima menit.” Nando tersenyum kearah Kei dengan sangat tidak sopan gadis itu membuat ekspresi masam.

“Maukan elo nemenin gue makan, gue sendirian disini cuman ada pembantu aja disini.”

Gadis itu terlihat berpikir dalam hati pasti ia sedang mengutuki Nando yang memaksanya dalam segala hal. Hahaha. Nando jadi merasa bersalah sendiri dengan memaksa, namun inillah kesempatan yang ia miliki. Kesempatan langka yang tidak akan pernah datang untuk kedua kalinya.

“Sya ?.”

“Syaratnya.. jangan panggil gue ‘Sya’ .. gue benci nama itu. Gue Kei !”

“Yaaa Syaa. Ups ! Kei.”

Nando tersenyum melihat gadis itu rada keki. Mungkin memang gadisnya masih ada dalam diri Keisya sekarang. Batinnya.

Kei mendapati dirinya termenung, mengingat kejadian siang tadi. Ia tidak habis pikir ada apakah dirinya sudah memaafkan cowok itu. Kei mendesah tanda ia gelisah memikirkan hatinya masih untuk cowok itu. Ternyata seberapa keras usahanya untuk hidup tenang tetap akan sulit, mengingat cowok itu selalu ada dibenak juga hatinya.

“Mbaak…” panggilan Dian membuyarkan lamunannya.

“Apa?.”

“Dian bĂȘte banget, tadi ke pantai ehh ketemu cowok cakep tapi habis itu malah ditinggal gitu aja. Ditambah lagi, habis itu Dian di ikutin ama cowok aneh dengan mulutnya yang tajem…” cerocosnya tanpa peduli Kei mendengarkan atau tidak.

Kei hanya memasang ekspresi datar, ia menghela napas sejenak dan cuman berkata sekenanya. “Dia naksir elo kali…”

Dian menatap Kei tanpa berkedip dan tersenyum.

“Kenapa bisa – bisanya Mbak mikir gitu ?”

“Gue cuman bilang itu berdasarkan riset gue…”

“Hmm… hebat juga nih, Mbak Kei. Hehehe.”

“Tapi lo harus hati – hati ama cowok, gue nggak suka liat elo nangis gak jelas cuman gara – gara cowok.” Kei bangkit dan berjalan menuju kamarnya. Entah bocah ingusan itu mendengarkannya atau tidak. Ia peduli, namun tidak dapat menunjukkan kepeduliannya seberlebihan orang lain.

Gue harep, elo nggak ngalamin apa yang gue alamin, Diandra… batinnya.

1 komentar:

  1. No more :)

    bener-bener bikin nangis...
    aku tunggu jugak nih cerita 4nya.. :)

    BalasHapus