Dewi
Aku ingin dekat dengannya, namun sepertinya terlambat…
Aku berharap untuk tidak menjadi seorang yang bermulut tajam. Aku berharap tidak berkata yang bertolak belakang dengan apa yang ada dihatiku. Aku selalu berharap ia tidak membenciku… maksudku.. mereka—Dino dan Caca—adikku. Caca adik kembarku, kami—aku dan Caca—hanya lahir berbeda beberapa detik saja, aku memang terlihat lebih menonjol dibanding adik kembarku Caca, awalnya menyenangkan. Karena Mami lebih dekat denganku dan selalu mendahulukan kepentinganku, kapanpun itu, selalu aku yang nomor satu dibanding Caca yang memang rada pemalu dan pendiam.
Dari dulu Papa memang nggak pernah dekat dengan kami—aku, Dino, dan Caca—bertiga, itu semua salah Papa yang jarang pulang. Sekalinya pulang ia hanya menyempatkan duduk diam dan sarapan pagi bersama keluarganya. Mami yang seorang artis memang sama sibuknya namun ia selalu mengajakku kemanapun ia pergi. Hanya aku. Tidak dengan Caca dan Dino. Hingga kerap kali Caca dan Dino protes, hanya protes anak kecil yang tidak akan dianggap oleh Mami yang keras kepala.
Pilih kasih Mami membuat kami tumbuh dalam dunia kami sendiri. Aku yang memilih untuk berhenti kuliah dan menjadi seorang artis sama seperti Mami. Caca yang masih kelas dua SMA menjadi siswi jenius yang kuper dan sangat benci pada segala hal yang berhubungan dengan entertainment(dunia yang menjadi pilihanku). Ia benci sekali jika ada yang mengenalinya sebagai diriku. Dino yang selalu membuat onar disekolahnya dan sering membuat adik kelasnya menangis. Dia juga seorang tukang palak yang hobi malakin adik – adik kelasnya sendiri. Tidak heran kami seperti ini. Ditambah dengan keputusan sepihak orangtua kami yang memilih berpisah dengan alasan sudah tidak cocok. Itu benar – benar membuat kami(bukan cuman aku)depresi berat.
Disatu sisi aku ingin menghampiri kedua adikku dan berbagi kesedihan yang sama. Namun disisi lain, aku tidak ingin terlihat lemah dihadapan mereka. Yang kuinginkan mereka tidak berlarut dalam kemelut yang membuat semangat hidup jadi menghilang. Aku menjadi seorang yang mereka anggap menyebalkan, itu sungguh menjadi sebuah ironi tersendiri dalam hatiku. Seberapa inginnya aku dekat dengan mereka, tetap saja mereka seolah menjauhiku.
“Lo kenapa, De ?” suara itu mengagetkanku. Mengembalikan aku kedunia nyata.
“Ehm.. eh ? Radit. Gue nggak papa, cuman lagi mikirin adek – adek gue aja.”
“Yaelahh, elo masih sering nggak akur ama Caca n’ Dino ?”
Dia Radit. Salah satu sahabatku yang paling baik. Dia seorang model, sejak SMP kami selalu bersama – sama dan jangan pernah berpikir kalau aku dan dia punya hubungan khusus. Itu salah besar. Cowok dihadapanku ini, sudah memiliki tunangan. Aku kenal siapa tunangannya, Netta. Sahabatku juga di SMA. Beruntungnya aku memiliki mereka—Radit dan Netta—yang selalu menghiburku disaat aku galau.
“Habis, mereka selalu aja ngerjain gue. Gue bête jadinya.”
“Bukannya elo anggep kejailan mereka sebagai tanda sayang, gimana sih elo, De. Dasar.” Gerutu cowok itu. Aku tersenyum.
“Iyaaaaa… tapi gue pengen tahu seperti apa mereka disekolah, Dit.”
“Cari tahu aja lewat temen – temen mereka ?.”
Ide Radit memang bagus, tapi bukannya Caca itu sama sekali tidak memiliki teman dekat. Karena sikapnya yang kikuk, pendiam, dan juga pemalu jelas saja tidak ada yang ingin dekat dengannya. Sikapnya juga rada jutek dengan orang yang mengira Caca itu aku.
Hmm.. kalau dipikir lagi, itu bukan kesalahan Caca sepenuhnya. Itu karena kedua orangtua kami yang sama sekali tidak pedulian. Entah pendapatku benar atau salah, toh kenyataan yang kami rasakan memang seperti itu. Mereka—orangtua kami—sama sekali tidak peduli dengan apa yang terjadi dengan kami bertiga. Makanya aku ingin dekat dengan mereka, namun sepertinya sudah sedikit terlambat untuk memperbaiki semuanya.
Tuhan… berikan aku kekuatan dan kesabaranmu…
Caca.
aku bukanlah Dewi, aku adalah Caca si cewek aneh…
Gue selalu berpikir apa sih hebatnya menjadi seorang artis, dimana – mana menjadi diri sendiri lebih baik daripada bersembunyi dibalik topeng keartisan yang bikin eneg. Gue benci seorang artis, actor, dan segala hal tentang dunia entertainment. Sebab semua tentang dunia ‘itu’ menghancurkan keluarga gue. Orang tua yang memilih untuk berpisah, kakak kembar yang sok oke dan adik yang selalu bikin onar. Sumpah !. Hidup ini buat gue serasa nggak punya semangat lagi, tapi itu semua nggak berarti gue akan dengan sengaja mengakhiri hidup gue lewat seutas tali atau makan obat – obatan terlarang. Sori. Gue punya prinsip dalam hidup meskipun prinsip itu aneh buat gue ceritakan.
Ini bukan hanya tentang gue, ini tentang gue yang benci sama kakak kembar gue yang selalu saja buat masalah untuk gue dimanapun. Catat. Dimanapun. Karena lebih memilih karirnya di dunia ‘setan’—sebutan gue untuk dunia keartisan—dia berhenti kuliah dan bekerja sambil bersenang – senang ria. Pulang malam, terkadang dia tidak pernah pulang. Sama seperti Bokap yang nggak pernah mau pulang ke rumah (bila bangunan luas itu masih bisa dibilang rumah) jika ada perkerjaan kantor. Nyokap yang memang seorang artis senior memilih menempati apartemen mewahnya ketimbang mengasuh atau memperhatikan kami—gue, adek gue, dan kakak gue—bertiga.
Kakak gue, Dewi memang mirip sama gue dalam hal fisik. Selain itu, kami berbeda. Jadi jika kalian tanya apakah gue paham arti dari peribahasa ‘serupa tapi tak sama’ jawabannya jelas banget IYA. Dia suka mengecat rambut dengan warna yang membuat orang terkagum – kagum oleh keberaniannya (kalo gue bilang sih, dia itu konyol !). Dengan cap ‘artis yang sedang naik daun’ jelas saja banyak yang mengikuti caranya berpenampilan termasuk teman – temanku disekolah yang gila fesyen, contohnya Tere, Lola, dan Erina(entah kenapa gue hapal nama mereka).
Masih tentang si Miss Artis. Dia suka banget dengan barang – barang bermerk, suka banget dengan gaun – gaun yang menurut gue, kekurangan bahan. Asli. Gue pernah berkomentar sekali dan dia berkata gue ‘iri’ ??.
“Lo gila juga ya, pake gaun meriah gitu. Cuman buat ke acara nggak jelas ?”
Dewi menatapku sejenak lewat cermin hiasnya yang besar. Lalu berbalik kearahku dengan cepat.
“Lo cuman iri sama gue, Ca. karena nggak bisa kayak gue.”
“Ciih, yang bener aja. Dunia gue lebih baik daripada dunia elo !”
“Gue nggak heran elo, jauh dari Mami.”
Setelah dengan kejamnya ia berkata seperti itu, seolah gue ini cuman orang yang menumpang hidup dirumahnya(yang juga sebenernya rumah gue)dia pergi begitu saja. Melenggang, melangkah menuju pesta yang bagi gue sungguh membosankan.
Gue akan kasih tahu, sejujurnya gue nggak pernah deket sama nyokap. Gue lebih deket sama pembantu gue, Mbok Gin. Beliau sosok seorang yang gue hormatin. Cuman dia satu – satunya orang yang mau tahu tentang apa yang terjadi dengan gue dan Dino, adek gue yang masih SMP. Dino dan gue emang jarang akur tapi kami bukannya nggak pernah kompak. Kami kompak dalam hal mengerjai Dewi yang menyebalkan.
Kalau bokap sendiri, memang sejak lama jarang pulang. Alasannya pekerjaan. Dia pria yang kaku dan jarang bicara, namun sekalinya bicara ia berkata hal yang menyakitkan. Memilih berpisah dengan nyokap karena nyokap yang nggak mau mundur dari ‘dunia setan’. Jadi jangan pernah nyalahin gue kalau gue benci orang – orang sekitar gue. Dan juga gue benci saat ketemu fans si Miss Artis. Mereka pikir gue adalah dia… sekalipun gue selalu bilang “Gue bukan Dewi tapi gue Caca si cewek aneh...”
Tapi tetap saja peristiwa yang sama kerap kali terjadi dan itu semua membuat gue sakit hati dan ngerasa kesal sendiri.
Dewi
Mami yang dulu dan yang saat ini… berbeda…
Aku bukannya tidak tahu, Caca marah dengan ucapanku beberapa minggu lalu. Ia mengatakan apa yang ada dibenaknya tentang apa yang ku kenakan. Dan aku malah mengatakan hal yang jelas membuat luka hatinya kembali terbuka, aku memang bukan kakak yang baik. Pantas saja hingga saat ini aku masih dianggap bodoh oleh kedua sahabatku. Ironis lagi, begitulah hidupku sepertinya.
“Eh artis baru ! Tolong deh, jangan nggak professional gitu kalo lagi kerja. Lo pikir ini perusahaan bapak moyang lo, ya ?!” komentar pedas itu sudah sangat pasti membuatku lebih frustasi dan kesal.
Bila ada orang yang ingin sekali menandangku dari dunia keartisan adalah dia, Archie. Dia seorang sutradara film yang namanya memang telah cukup dikenal, ditambah lagi dia adalah anak dari seorang konglomerat ternama di Indonesia. Nggak heran sikap nge-bossy-nya kadang muncul. Sikapnya keras, bicaranya judes, dan dia ketus banget padaku, aku pikir dia benci padaku. Karena dia selalu mengataiku, ‘Artis Baru’.
“Sori, Arch. Gue lagi nggak fokus tadi.” Ucapku.
“Makanya, laen kali kalo lagi kerja urusan yang nggak penting itu jangan dibawa – bawa ketempat kerja dong.”
Aku hanya bisa menghela napas. Benar – benar bingung dengan sikap ketus yang ia tujukan padaku. Apa sih salahku ? aku saja tidak mengerti sama sekali.
…
Hari itu syuting berakhir dengan sukses sebenarnya jika saja Archie tidak menggerutu sepanjang syuting. Itu sangat menguji kesabaranku. Kalau saja dia bukan sutradara, aku akan mengajaknya duel. Jangan meremehkanku, begini – begini aku pemegang sabuk hitam karate. Itu kupelajari sejak SD untuk menjaga diri juga sih, tapi Mami nggak tahu. Kalau dia tahu, bisa – bisa aku kena marah sebulan.
Dering ponselku mengejutkanku, aku meraih ponselku dari tas bawaanku ketika menatap layarnya, nama ‘‘Mommy” muncul. Dengan semangat aku menerima panggilan tersebut.
“Halo, Mi. Mami lagi dimana, kenapa belom jemput, Dewi?”
“De, maaf Mami lagi sama temen. Kamu naik taksi aja dulu ya, sori banget sayang.”
Dan sebelum Mami menutup saluran telepon itu, aku mendengar suara lelaki yang sudah sangat jelas ituu bukan Papa. Papa sedang berada di Singapura. Tidak mungkin juga Papa mau pergi ke apartemen Mami.
“Mii.. siapa itu ?.”
Mamiku tergagap menjawab. Ia terdengar gugup. “Bukan s-siapa – siapa cuman… tukang pizza, udah dulu yaa.. daa.. sayaang..”
Sambungan telepon terputus begitu saja. Padahal dengan jelas aku mendengar suara itu bukan pengantar pizza, itu pasti lelaki yang telah membuat Papa memilih pergi meninggalkan Mami. Pandangan mataku mulai kabur, airmataku mulai berjatuhan kepipi. Bibirku terkatup rapat, aku menangis tanpa suara. Dadaku sesak seakan ingin berlari terjun kearah jurang. Aku tidak ingin ini tahu semua ini. Aku harus seperti apa, agar semua kembali seperti saat aku kanak – kanak. Dimana Papa dan Mami selalu mengajak kami bertiga—bukan hanya aku—berkeliling Mall. Entah sudah berapa lama aku tidak mendengar canda tawa dan keriangan disekitarku, hingga aku luruh dalam duniaku.
Dan dengan enggan dalam hati, aku mengakui bahwa Mami yang dulu dan yang saat ini… sungguh sangat berbeda. Isakku makin menjadi ketika telah berada dalam taksi, supir taksi tersebut kelihatan bingung. Takut – takut ia bertanya padaku.
“Neng, mau kemana nih ?”
“K-kerumm-ah pak..” sahutku dengan suara serak.
“Ya alamat rumahnya dimana, Neng ?.”
Aku menatap bengis kearah supir tersebut dan dengan enggan aku memberikan KTP-ku agar dia menuju kearah yang benar. Menuju Rumah, paling tidak disana ada dua orang yang masih mau mengakui keberadaanku sekalipun mereka menganggapku menyebalkan.
Archie
Dia terlihat galau, aku ingin memeluknya. Bila saja ia tahu…
Gue Achie Sadewa. Seorang anak konglomerat kaya dan juga sutradara ternama. Tapi jangan pernah coba berpikir, gue terkenal karena duit bokap gue. Sori banget. Itu adalah pemikiran konyol. Gue sudah ngebuktiin itu semua lewat karya – karya gue yang sangat disukai. Awalnya nggak mudah, selalu saja ada sebuah kesulitan dan kegagalan untuk pencapaian yang maksimal. Namun itu semua sudah berlalu, sekarang gue adalah sutradara ternama, nggak ada satu orangpun yang boleh melecehkan gue sebagai anak manja !.
Gue juga selalu akrab dengan gossip miring. Tentang keakraban gue dengan model atau artis – artis yang main di film dan iklan yang gue garap. Sayangnya nggak ada satupun yang kebenarannya terbukti. Jelas saja, buat gue kerjaan itu nggak boleh bercampur dengan urusan pribadi. Dikamus hidup gue, masalah cinta cuman buat hidup merana. Itu karena gue sering lihat temen – temen yang mengeluh masalah dengan cewek mereka yang egois.
Tapi semua yang gue katakan diatas, hancur waktu gue kenal seorang artis cewek pendatang baru bernama Dewita Catherine. Dia cewek yang cantik, memang kebanyakan artis cantik namun cewek ini berbeda. Dengan matanya yang coklat kehitaman bulat sempurna, bibir yang kecil dan wajahnya imut seperti anak SMP. Padahal dia berusia sekitar Sembilan belas tahun. Kulitnya kuning langsat dengan tinggi diatas rata – rata cewek Asia. Rambutnya yang sering ia cat dengan warna – warna menyala, ia berbeda dengan sikapnya yang ramah dan terkadang polos. Itulah yang gue nilai selama ini.
Awalnya gue menganggap dia itu sok polos dan terkesan pura – pura lugu. Untuk menarik perhatian gue, tapi dia sama sekali nggak berpura – pura. Gue sadar setelah hari itu gue nemuin dia sedang sendirian di sela – sela waktu syuting. Dia terlihat muram, seolah mengingat sesuatu yang membuatnya sedih. Ekspresi yang jarang ia tunjukkan kepada siapapun. Bahkan pada Radit—salah satu model yang digosipkan dulu dengannya—ia hanya sering bersenda gurau.
“Lagi mikirin apa sih, kayaknya elo lagi sibuk sendiri ama pikiran elo ?”
Eliza, kakak gue yang bawelnya setengah mampus. Inilah salah satu alasan kenapa para model dan juga artis – artis cewek rada segen deketin gue. Mereka harus berhadapan dengan Elly—itulah sapaan gue—yang memiliki sikap brother complex karena gue sodara satu – satunya. Entahlah.
“Gue mau ke lokasi, Elly. Elo tuh, merengut nggak jelas.”
“Hmm.. ada apaan sih di lokasi syuting elo, sampe niat gitu kesana ?”
“Kerjaan guelaahh… elo ini, curiga aja bisanya.”
“Patutlah, apalagi elo kayak nyembunyiin sesuatu…”
Gue ngeloyor pergi, sebelum kena perangkap dari si detektiv Elly. Yang instingnya sangat tajam, gue rasa dia bakal dateng membawa badai ke lokasi syuting gue. Dan itu semua pasti ada konsekuensinya. Yaitu, syuting mendadak berubah jadi acara pesta yang dibuat Elly, dia memang cewek penggemar pesta.
…
Hari itu usai syuting, gue berniat pulang buru – buru. Nggak jauh dari mobil, gue melihat Dewi sedang menelpon seseorang dan nggak lama wajahnya terlihat galau. Setelah menutup teleponnya ia menangis tanpa suara, wajahnya memerah terutama di bagian hidungnya yang mancung. Gue baru akan mendekatinya ketika sebuah taksi berhenti tepat dihadapan cewek itu. Ia dengan cepat menghilang, masuk kedalam taksi tersebut.
Taksi itu meluncur ke jalanan dan gue masih tetap terpaku berdiri di tempat. Tanpa berkata, gue merasa hati gue sakit juga melihat cewek itu menangis seperti itu. Gue ingin meluk dia dan tenangin dia didekapan gue, bila saja dia tahu… apa yang gue rasakan saat ini.
Caca
Cowok menyebalkan dan ada apa dengan Dewi ?
Sekolah gue. Sekolah swasta yang ternama, dimana siswa – siswinya berasal dari kalangan berada. Orang tua mereka notabene adalah seorang yang berpengaruh seperti pejabat atau mungkin OKB juga bisa. Kalaupun ada siswa yang terlihat dari kalangan biasa, mereka adalah para jenius lain yang mendapatkan beasiswa dari pihak yayasan sekolah kami. Gue memang jenius dan berharap mendapatkan beasiswa juga, sayangnya Bokap sudah membayar penuh bayaran sekolah gue selama tiga tahun. Gue nggak sombong, tapi biar pendiam gitu Bokap ada perhatian juga beda sama Nyokap yang lebih peduli dengan Miss Artis itu.
Dino juga bersekolah disini, hanya saja gedung sekolahnya ada dibelakang. Gue sedang asyik dengan pikiran sendiri tiba – tiba seorang cewek menabrak gue dengan sengaja gue rasa. Karena cewek itu adalah Tere. Dia cewek yang paling aneh menurut gue, dia selalu aja ngerusak hari gue yang damai. Entah apa alasan cewek satu ini dengan perlakuannya dia ke gue yang lebih sering kurang ajar.
“Eh mata empat ! jalan aja lo nggak bisa ya..!” umpatnya.
Gue yang cuek bebek dengan sapaannya di pagi hari, ya berjalan tanpa menghiraukan dia dengan kicauannya. Dia jadi kesal sendiri. Padahal apaan sih yang gue perbuat ke dia ? Marah juga nggak ada, apalagi menyahut omongannya. Memang aneh cewek itu.
“Heii mata empat, hari ini elo tambah jelek aja.” Erina berkata dan seruan berikutnya menimpali, siapa lagi kalau bukan dari Lola.
“Iyaa, kacamata lo makin tebel aja. Udah ganti aja, pake kacamata kuda.”
“Iya tuh, cocok buat penampilan elo yang noraaak !” ucap Tere yang ternyata sudah berkumpul dengan ceesannya.
Gue menatap dengan tatapan datar kearah mereka. “Kalian udah selesai belom ? Gue mau lewat, buang – buang waktu gue aja sih.”
Mereka ternganga melihat sikap gue yang sama sekali nggak menunjukkan ekspresi kesal atau marah. Gue berjalan melenggang melewati mereka tanpa menghiraukan gerutuan mereka.
…
Sedang asyik duduk di perpustakaan tiba – tiba suara dengkuran halus mengganggu gue. Gue melirik kearah asal suara tersebut. Ternyata dia, seorang cowok yang asyik tidur bukannya membaca seperti gue. Apa yang ngebuat cowok itu nyaman tidur ditempat beginian ? kenapa musti ditempat favorit gue ?. Sadar diperhatikan(atau mungkin juga nggak)cowok itu terjaga. Ia menggeliat seperti seekor kucing pemalas. Gue hanya bisa menatap tidak percaya dengan cowok itu, benar – benar cowok tengil yang nggak sadar tempat.
“Hoooaaahhheemmm…. Hmm..” cowok itu masih belum menyadari keberadaan gue yang masih sedikit tercengang dengan kelakuan cowok itu.
“Bisa nggak elo, nggak tidur ditempat ini ?” ucap gue ketus tanpa sadar.
Cowok itu menoleh kearah gue dengan tampang bloon dan sedikit tertegun atau tepatnya terkejut.
“Ehh ? Ahh… g-gue minta maaf, ehehehe.” Sekarang cowok itu cengengesan nggak jelas didepan gue.
“Elo bisa minggir nggak ? Jadi nggak konsen baca, gue.”
Dia terpana atau lebih tepatnya memasang tampang bloon lagi dengan mulut ternganga. Dan cepat – cepat dia, tersenyum kali ini nggak cengengesan.
“Sori banget, gue tadi malem habis begadang maen PS soalnya. Kenalin… gue Alnord Saputra. Temen – temen manggil gue Ale. Lo… ?”
Hah ? apaan nih cowok pake acara kenalan segala.
Gue terdiam memasang wajah sinis dan judes. Memang gue jarang senyum malah udah hampir lupa kapan terakhir gue senyum.
“Gue nggak minat kenalan sama lo. Gue nggak mau tahu siapapun elo.” Ucap gue judes.
Cowok itu terdiam. Dia memasang wajah bingung dan menatap gue agak lama, karena gue nggak minat dipelototin sampe segitunya. Jadi gue milih beranjak dari sana. Baru saja gue bangkit eh tiba – tiba cowok aneh itu narik tangan gue. Gue melotot kearahnya dengan sangar karena perbuatannya yang nggak sopan banget sama orang yang baru dia kenal.
“Lepasin…” bisik gue, gue hampir lupa ini perpustakaan kalo aja gue nggak megang buku ditangan gue.
“Lo belom sebutin nama elo…” balasnya. Matanya mirip mata anak anjing, yang sedang memelas. Itu membuat gue jadi sedikit geram. Pada akhirnya gue mengalah dan nggak mau ribet dengan cowok aneh dengan tampang memelas itu.
“Caca…” dia bukannya langsung melepas tangan gue, malah salaman dengan senyum kebocahannya dia menatap gue seolah habis menang lotre ?
…
Pulang sekolah, gue udah masuk ke kamar kalau saja nggak lihat Dino yang lagi duduk akrab sama si Miss Artis. Nggak biasanya Miss artis itu sudah di rumah sore begini. Biasanya masih berkeliling di tempat syutingnya. Cihh.. membayangkan saja gue udah mual !.
“Udah pulang Kak Catty ?” Dino memang manggil gue dengan nama ‘Catty’ sesuai dengan nama belakang gue.
“Kenapa ? Kangen lo sama gue ?.”
“Dasar sinisss..” gerutu Dino dan mencibir kearah gue.
“Lo, emang biasa pulang jam segini ya, Ca ?.”
Gue menatap sejenak kearah Miss Artis itu, ada apa dengan dia kenapa begitu perhatian sama gue ?. Dan gue menatap curiga kearah Dino… bocah itu hanya nyengir jenaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar