Sabtu, 31 Desember 2011

Song Eun Yo (Part 2)


Part 2
Hari ini lagi – lagi dia tersenyum padaku. Dia masih ketus hanya saja ia berbeda sejak hari itu. Sejak hari ia berkunjung ke apartemenku yang bobrok. Bukan aku merasa bahagia karena ternyata ia adalah cowok yang baik. Aku memang menyukainya, sejak aku ditolong olehnya. Ia memang pembuat onar, suka membolos, sering sekali dihukum karena tidak mematuhi peraturan. Dia juga bukan siswa yang cerdas. Aku mendekatinya, karena aku merasa ia juga sama kesepiannya seperti aku, itu awalnya. Tapi ternyata, ia jauh lebih baik dari yang kukira.
            “Hei… kau menyeramkan berdiam seperti itu..” ucapnya. Ia terlihat tampan, mirip dengan artis korea Rain.
            “Aku sedang berpikir, hahaha… aku ingin berterimakasih padamu, sudah mau menjengukku.”
            “Heh ? Sudah kubilang, jangan membahas itu lagi. Kau ini…”
            “Apa kau tidak punya teman dekat ?” aku malah bertanya seperti itu pada Jung-sou, jelas saja aku tahu dia punya seorang teman bernama Dong-cae. Aku hanya ingin ia bercerita setidaknya agar aku tahu tentang cowok disampingku.
            “Jika yang kau maksud sahabat, mungkin aku tidak punya. Kalau teman aku memiliki beberapa, bukan teman sekolah. Dan kau tidak akan senang mengetahui siapa temanku.” Ucapnya tegas dan serius. Aku menatapnya tercengang.
            “Jangan menganga seperti itu, kau keliahatan bodoh.” Lanjutnya.
Aku tersenyum. Dia membuatku merasa begitu diharapkan, tapi aku sedikitpun tidak tahu apapun tentang dia bahkan kapan cowok ini berulang tahunpun aku tidak tahu. Bagaimana ia dirumah dan apakah ia tahu kalau aku menyukainya. Hmm… aku merasa pusing sendiri.
Sore itu, setelah bubaran sekolah. Tanpa sengaja aku melihat Jung-sou menghampiri seorang yang memakai jas serba hitam, usianya mungkin sekitar lima puluh tahunan. Mereka berbicara dengan wajah serius, terutama Jung-sou. Jujur saja, aku tidak suka menguping tapi untuk kali ini, rasa ingin tahuku sangat mengganggu.
            “Aku tidak mau ulang tahunku dirayakan, biarkan saja mereka juga tidak akan hadir. Aku harap kau menyampaikan ini pada mereka…”
            Kudengar cowok itu berkata demikian tegas pada pak tua disebelahnya.
            “Tapi, Tuan Hatori sudaah…”
            “Jangan bicara itu lagi, aku bilang aku tidak akan merayakannya. Apa itu kurang jelas untukmu Kenji-san ?” kali ini nadanya terdengar sebal sekaligus gusar.
            “Baiklah, Tuan muda. Aku akan mengatakan ini, pada Tuan Hatori.” Ucap pak tua—yang dipanggil Kenji-san oleh Jung-sou—itu sambil membungkuk.
            “Sekarang kau boleh pergi, aku akan naik kereta saja. Ada yang harus kukerjakan. Dan kau pasti tahu itu…” nadanya melunak dan terdengar senang.

Aku sungguh tidak menyangka, cowok itu adalah seorang tuan muda. Dia bahkan tidak pernah menunjukkan itu, ia terkesan cuek dan jarang peduli dengan hal – hal yang bermerk. Dan mengenai ulang tahunnya, kenapa aku tidak tahu kapan anak itu ulang tahun. Mungkin aku harus mencari tahu sedikit, paling tidak aku bisa menyiapkan hadiah untuknya.
            “Apa yang kau lakukan disini gadis aneh ?” tiba – tiba saja, Jung-sou sudah ada disebelahku.
            “Kyyyaaa… kau ini, mengejutkanku saja. Apa kau tidak tahu aku ini mudah terkejut.” Gerutuku.
            “Hmm.. kau mirip penguntit, tidak kusangka kau mudah terkejut.”
            “Kau ini…”
            “Fuuh.. sudahlah ayo kuantar pulang…”
            “Baiklah, ayooo… kenapa ya, hari ini cepat berlalu. Aneh.” Ucapku. Dan ia hanya tersenyum melihatku yang seperti itu. Senyum yang hangat dan jarang kulihat saat bersamanya, apa ia tidak tahu kalau ia selalu membuatku berdebar – debar seperti ini ?.
“Aapa ?? kau mau tahu kapan, Jung-sou berulang tahun dariku ? Tapii.. kau kan dekat dengannya, kenapa bertanya padaku ?” ucap Dong-cae begitu aku mendapatinya di tempat ia bisa nongkrong bersama yang lain, untungny Jung-sou hari ini tidak masuk. Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi padanya—padahal jelas aku cemas—sampai tidak masuk sekolah.
            “Pelankan suaramu, kau ini. Mau tidak membantuku ?.”
            “Baiiiikk, kalau saja aku tidak ingat kau ini adik temanku. Aku tidak ingin melakukan perbuatan bodoh begini. Kenapa kau tidak menyatakan perasaanmu saja sih.” Gerutunya.
            “Apa sangat jelas terlihat ?”
            “Hanya si Jung-sou bodoh, itu saja yang tidak peka sama sepertimu ! kalian berdua sama – sama bodoh.”
Sialan, Dong-cae malah mengataiku. Awas saja kalau ia tidak berhasil aku akan bilang pada kakakku. Haahaha, maksudku kakak angkatku. Keluarga angkatku tinggal di New York, mereka berharap aku mau pindah ke sana namun aku berkeras tinggal disini sampai sekolah SMA-ku selessai.

Aku menerima informasi itu, Dong-cae memang hebat. Hahhaa. Dan ternyata ulang tahun cowok itu adalah besok. Aku belum sempat menyiapkan apapun, kenapa cowok itu tertutup sekali ya. Pulang sekolah hari itu, aku bergegas menuju pertokoan dekat rumah Dong-cae. Dia juga mengantarku, aku hanya membeli perlengkapan merajut dan sebuah buku tentang cara memasak kue. Hahaha. Aku berniat membuat hadiah itu sendiri. Agar lebih berkesan dan Jung-sou akan senang.
            “Terimakasih, Dong-cae. Aku harap kau mau merahasiakan ini dari Jung-sou.”
            “Tentu saja, memang aku seember itu, kau ini..” dia menjitak kepalaku. Aku dan dia hanya tergelak setelahnya. Dan aku melihat sekilas sosok yang ku kenal, Park Jung-sou. Ia sedang menatapku—maksudku menatap aku dan Dong-cae—tatapannya datar. Ia mendekati kami. Celaka. Peralatan ini, harus kusembunyikan.
            “Kalian, sedang apa?” Dong-cae menatapku ketika mendengar suara yang dikenalnya dan seolah berkata ‘tenang saja’.
            “Heiii…” sapaku sebisanya. Karena gugup.
            “Oh, kau Jung-sou. Aku hanya mengantar barang – barang ini kerumah Eun-yo. Hanya saja, aku malah bertemu dengannya disini. Jadi kebetulan, aku langsung saja menyerahkannya kemari.” Sahut Dong-cae tenang.
            “Ohh.. kupikir kaliaaan…”
            “Kenapa?” tanyaku.
            “Tidak bukan apa – apa.”
            “Ehmm, hei Jung-sou tolong antar dia pulang ya. Aku masih ada urusan.” Setelah berkata begitu, Dong-cae memang menghilang. Kemana ya, cowok itu ?.
            “Kau… untuk apa, dia memberikanmu barang seperti itu, apa kau mau menjual hasil buatan tanganmu ?.”
            “Hehehe. T-tidaak, untuk apa melakukan itu. Tabunganku masih cukup kok. Hanyaaa s-saja, mhmm… ada seseorang yang ingin kubuatkan ini. Aku tidak tahu, ia menyukainya atau tidak. Tapi paling tidak, aku sudah memberikannya sesuatu yang kubuat sendiri.”
            “Siapa ? Laki – laki itu ?” nadanya datar sekali.
            “Kau mengenalnya kok… tenang saja, besok kau akan tahu.”
            “Apa dia begitu penting untukmu, sepertinya kau sangat menyukainya.”
            “Akuu memang sangaaaat menyukainyaaa…”
            “Jangan mengatakan hal bodoh di depanku, kau terlihat lebih bodoh dari sebelumnya.” Gerutunya.
            “Hmm.. Jung-sou, terimakasih kau mau mengantarku. Kita sudah sampai. Terimakasih, Jung-sou. Kau sangat baik, aku beruntuung mengenalmu.”
            “Aku juga merasa begitu.” Gumamnya.. aku merasa ia begitu sedih. Apa telah terjadi sesuatu ? tapi dikalimat berikutnya ia hanya tersenyum dan berkata “Sampai jumpa, Eun-yo.”

Jumat, 30 Desember 2011

You And Me


Dewi
Aku ingin dekat dengannya, namun sepertinya terlambat…
            Aku berharap untuk tidak menjadi seorang yang bermulut tajam. Aku berharap tidak berkata yang bertolak belakang dengan apa yang ada dihatiku. Aku selalu berharap ia tidak membenciku… maksudku.. mereka—Dino dan Caca—adikku. Caca adik kembarku, kami—aku dan Caca—hanya lahir berbeda beberapa detik saja, aku memang terlihat lebih menonjol dibanding adik kembarku Caca, awalnya menyenangkan. Karena Mami lebih dekat denganku dan selalu mendahulukan kepentinganku, kapanpun itu, selalu aku yang nomor satu dibanding Caca yang memang rada pemalu dan pendiam.
            Dari dulu Papa memang nggak pernah dekat dengan kami—aku, Dino, dan Caca—bertiga, itu semua salah Papa yang jarang pulang. Sekalinya pulang ia hanya menyempatkan duduk diam dan sarapan pagi bersama keluarganya. Mami yang seorang artis memang sama sibuknya namun ia selalu mengajakku kemanapun ia pergi. Hanya aku. Tidak dengan Caca dan Dino. Hingga kerap kali Caca dan Dino protes, hanya protes anak kecil yang tidak akan dianggap oleh Mami yang keras kepala.
            Pilih kasih Mami membuat kami tumbuh dalam dunia kami sendiri. Aku yang memilih untuk berhenti kuliah dan menjadi seorang artis sama seperti Mami. Caca  yang masih kelas dua SMA menjadi siswi jenius yang kuper dan sangat benci pada segala hal yang berhubungan dengan entertainment(dunia yang menjadi pilihanku). Ia benci sekali jika ada yang mengenalinya sebagai diriku. Dino yang selalu membuat onar disekolahnya dan sering membuat adik kelasnya menangis. Dia juga seorang tukang palak yang hobi malakin adik – adik kelasnya sendiri. Tidak heran kami seperti ini. Ditambah dengan keputusan sepihak orangtua kami yang memilih berpisah dengan alasan sudah tidak cocok. Itu benar – benar membuat kami(bukan cuman aku)depresi berat.
            Disatu sisi aku ingin menghampiri kedua adikku dan berbagi kesedihan yang sama. Namun disisi lain, aku tidak ingin terlihat lemah dihadapan mereka. Yang kuinginkan mereka tidak berlarut dalam kemelut yang membuat semangat hidup jadi menghilang. Aku menjadi seorang yang mereka anggap menyebalkan, itu sungguh menjadi sebuah ironi tersendiri dalam hatiku. Seberapa inginnya aku dekat dengan mereka, tetap saja mereka seolah menjauhiku.
            “Lo kenapa, De ?” suara itu mengagetkanku. Mengembalikan aku kedunia nyata.
            “Ehm.. eh ? Radit. Gue nggak papa, cuman lagi mikirin adek – adek gue aja.”
            “Yaelahh, elo masih sering nggak akur ama Caca n’ Dino ?”
Dia Radit. Salah satu sahabatku yang paling baik. Dia seorang model, sejak SMP kami selalu bersama – sama dan jangan pernah berpikir kalau aku dan dia punya hubungan khusus. Itu salah besar. Cowok dihadapanku ini, sudah memiliki tunangan. Aku kenal siapa tunangannya, Netta. Sahabatku juga di SMA. Beruntungnya aku memiliki mereka—Radit dan Netta—yang selalu menghiburku disaat aku galau.
            “Habis, mereka selalu aja ngerjain gue. Gue bête jadinya.”
            “Bukannya elo anggep kejailan mereka sebagai tanda sayang, gimana sih elo, De. Dasar.” Gerutu cowok itu. Aku tersenyum.
            “Iyaaaaa… tapi gue pengen tahu seperti apa mereka disekolah, Dit.”
            “Cari tahu aja lewat temen – temen mereka ?.”
Ide Radit memang bagus, tapi bukannya Caca itu sama sekali tidak memiliki teman dekat. Karena sikapnya yang kikuk, pendiam, dan juga pemalu jelas saja tidak ada yang ingin dekat dengannya. Sikapnya juga rada jutek dengan orang yang mengira Caca itu aku.
            Hmm.. kalau dipikir lagi, itu bukan kesalahan Caca sepenuhnya. Itu karena kedua orangtua kami yang sama sekali tidak pedulian. Entah pendapatku benar atau salah, toh kenyataan yang kami rasakan memang seperti itu. Mereka—orangtua kami—sama sekali tidak peduli dengan apa yang terjadi dengan kami bertiga. Makanya aku ingin dekat dengan mereka, namun sepertinya sudah sedikit terlambat untuk memperbaiki semuanya.
            Tuhan… berikan aku kekuatan dan kesabaranmu…

Caca.
aku bukanlah Dewi, aku adalah Caca si cewek aneh…
Gue selalu berpikir apa sih hebatnya menjadi seorang artis, dimana – mana menjadi diri sendiri lebih baik daripada bersembunyi dibalik topeng keartisan yang bikin eneg. Gue benci seorang artis, actor, dan segala hal tentang dunia entertainment. Sebab semua tentang dunia ‘itu’ menghancurkan keluarga gue. Orang tua yang memilih untuk berpisah, kakak kembar yang sok oke dan adik yang selalu bikin onar. Sumpah !. Hidup ini buat gue serasa nggak punya semangat lagi, tapi itu semua nggak berarti gue akan dengan sengaja mengakhiri hidup gue lewat seutas tali atau makan obat – obatan terlarang. Sori. Gue punya prinsip dalam hidup meskipun prinsip itu aneh buat gue ceritakan.
Ini bukan hanya tentang gue, ini tentang gue yang benci sama kakak kembar gue yang selalu saja buat masalah untuk gue dimanapun. Catat. Dimanapun. Karena lebih memilih karirnya di dunia ‘setan’—sebutan gue untuk dunia keartisan—dia berhenti kuliah dan bekerja sambil bersenang – senang ria. Pulang malam, terkadang dia tidak pernah pulang. Sama seperti Bokap yang nggak pernah mau pulang ke rumah (bila bangunan luas itu masih bisa dibilang rumah) jika ada perkerjaan kantor. Nyokap yang memang seorang artis senior memilih menempati apartemen mewahnya ketimbang mengasuh atau memperhatikan kami—gue, adek gue, dan kakak gue—bertiga.
Kakak gue, Dewi memang mirip sama gue dalam hal fisik. Selain itu, kami berbeda. Jadi jika kalian tanya apakah gue paham arti dari peribahasa ‘serupa tapi tak sama’ jawabannya jelas banget IYA. Dia suka mengecat rambut dengan warna yang membuat orang terkagum – kagum oleh keberaniannya (kalo gue bilang sih, dia itu konyol !). Dengan cap ‘artis yang sedang naik daun’ jelas saja banyak yang mengikuti caranya berpenampilan termasuk teman – temanku disekolah yang gila fesyen, contohnya Tere, Lola, dan Erina(entah kenapa gue hapal nama mereka).
Masih tentang si Miss Artis. Dia suka banget dengan barang – barang bermerk, suka banget dengan gaun – gaun yang menurut gue, kekurangan bahan. Asli. Gue pernah berkomentar sekali dan dia berkata gue ‘iri’ ??.
“Lo gila juga ya, pake gaun meriah gitu. Cuman buat ke acara nggak jelas ?”
Dewi menatapku sejenak lewat cermin hiasnya yang besar. Lalu berbalik kearahku dengan cepat.
“Lo cuman iri sama gue, Ca. karena nggak bisa kayak gue.”
“Ciih, yang bener aja. Dunia gue lebih baik daripada dunia elo !”
“Gue nggak heran elo, jauh dari Mami.”
Setelah dengan kejamnya ia berkata seperti itu, seolah gue ini cuman orang yang menumpang hidup dirumahnya(yang juga sebenernya rumah gue)dia pergi begitu saja. Melenggang, melangkah menuju pesta yang bagi gue sungguh membosankan.
Gue akan kasih tahu, sejujurnya gue nggak pernah deket sama nyokap. Gue lebih deket sama pembantu gue, Mbok Gin. Beliau sosok seorang yang gue hormatin. Cuman dia satu – satunya orang yang mau tahu tentang apa yang terjadi dengan gue dan Dino, adek gue yang masih SMP. Dino dan gue emang jarang akur tapi kami bukannya nggak pernah kompak. Kami kompak dalam hal mengerjai Dewi yang menyebalkan.
Kalau bokap sendiri, memang sejak lama jarang pulang. Alasannya pekerjaan. Dia pria yang kaku dan jarang bicara, namun sekalinya bicara ia berkata hal yang menyakitkan. Memilih berpisah dengan nyokap karena nyokap yang nggak mau mundur dari ‘dunia setan’. Jadi jangan pernah nyalahin gue kalau gue benci orang – orang sekitar gue. Dan juga gue benci saat ketemu fans si Miss Artis. Mereka pikir gue adalah dia… sekalipun gue selalu bilang “Gue bukan Dewi tapi gue Caca si cewek aneh...”
Tapi tetap saja peristiwa yang sama kerap kali terjadi dan itu semua membuat gue sakit hati dan ngerasa kesal sendiri.

Dewi
Mami yang dulu dan yang saat ini… berbeda…
Aku bukannya tidak tahu, Caca marah dengan ucapanku beberapa minggu lalu. Ia mengatakan apa yang ada dibenaknya tentang apa yang ku kenakan. Dan aku malah mengatakan hal yang jelas membuat luka hatinya kembali terbuka, aku memang bukan kakak yang baik. Pantas saja hingga saat ini aku masih dianggap bodoh oleh kedua sahabatku. Ironis lagi, begitulah hidupku sepertinya.
            “Eh artis baru ! Tolong deh, jangan nggak professional gitu kalo lagi kerja. Lo pikir ini perusahaan bapak moyang lo, ya ?!” komentar pedas itu sudah sangat pasti membuatku lebih frustasi dan kesal.
Bila ada orang yang ingin sekali menandangku dari dunia keartisan adalah dia, Archie. Dia seorang sutradara film yang namanya memang telah cukup dikenal, ditambah lagi dia adalah anak dari seorang konglomerat ternama di Indonesia. Nggak heran sikap nge-bossy-nya kadang muncul. Sikapnya keras, bicaranya judes, dan dia ketus banget padaku, aku pikir dia benci padaku. Karena dia selalu mengataiku, ‘Artis Baru’.
“Sori, Arch. Gue lagi nggak fokus tadi.” Ucapku.
“Makanya, laen kali kalo lagi kerja urusan yang nggak penting itu jangan dibawa – bawa ketempat kerja dong.”
Aku hanya bisa menghela napas. Benar – benar bingung dengan sikap ketus yang ia tujukan padaku. Apa sih salahku ? aku saja tidak mengerti sama sekali.
Hari itu syuting berakhir dengan sukses sebenarnya jika saja Archie tidak menggerutu sepanjang syuting. Itu sangat menguji kesabaranku. Kalau saja dia bukan sutradara, aku akan mengajaknya duel. Jangan meremehkanku, begini – begini aku pemegang sabuk hitam karate. Itu kupelajari sejak SD untuk menjaga diri juga sih, tapi Mami nggak tahu. Kalau dia tahu, bisa – bisa aku kena marah sebulan.
Dering ponselku mengejutkanku, aku meraih ponselku dari tas bawaanku ketika menatap layarnya, nama ‘‘Mommy” muncul. Dengan semangat aku menerima panggilan tersebut.
“Halo, Mi. Mami lagi dimana, kenapa belom jemput, Dewi?”
“De, maaf Mami lagi sama temen. Kamu naik taksi aja dulu ya, sori banget sayang.”
Dan sebelum Mami menutup saluran telepon itu, aku mendengar suara lelaki yang sudah sangat jelas ituu bukan Papa. Papa sedang berada di Singapura. Tidak mungkin juga Papa mau pergi ke apartemen Mami.
“Mii.. siapa itu ?.”
Mamiku tergagap menjawab. Ia terdengar gugup. “Bukan s-siapa – siapa cuman… tukang pizza, udah dulu yaa.. daa.. sayaang..”
Sambungan telepon terputus begitu saja. Padahal dengan jelas aku mendengar suara itu bukan pengantar pizza, itu pasti lelaki yang telah membuat Papa memilih pergi meninggalkan Mami. Pandangan mataku mulai kabur, airmataku mulai berjatuhan kepipi. Bibirku terkatup rapat, aku menangis tanpa suara. Dadaku sesak seakan ingin berlari terjun kearah jurang. Aku tidak ingin ini tahu semua ini. Aku harus seperti apa, agar semua kembali seperti saat aku kanak – kanak. Dimana Papa dan Mami selalu mengajak kami bertiga—bukan hanya aku—berkeliling Mall. Entah sudah berapa lama aku tidak mendengar canda tawa dan keriangan disekitarku, hingga aku luruh dalam duniaku.
Dan dengan enggan dalam hati, aku mengakui bahwa Mami yang dulu dan yang saat ini… sungguh sangat berbeda. Isakku makin menjadi ketika telah berada dalam taksi, supir taksi tersebut kelihatan bingung. Takut – takut ia bertanya padaku.
“Neng, mau kemana nih ?”
“K-kerumm-ah pak..” sahutku dengan suara serak.
“Ya alamat rumahnya dimana, Neng ?.”
Aku menatap bengis kearah supir tersebut dan dengan enggan aku memberikan KTP-ku agar dia menuju kearah yang benar. Menuju Rumah, paling tidak disana ada dua orang yang masih mau mengakui keberadaanku sekalipun mereka menganggapku menyebalkan.

Archie
Dia terlihat galau, aku ingin memeluknya. Bila saja ia tahu…
Gue Achie Sadewa. Seorang anak konglomerat kaya dan juga sutradara ternama. Tapi jangan pernah coba berpikir, gue terkenal karena duit bokap gue. Sori banget. Itu adalah pemikiran konyol. Gue sudah ngebuktiin itu semua lewat karya – karya gue yang sangat disukai. Awalnya nggak mudah, selalu saja ada sebuah kesulitan dan kegagalan untuk pencapaian yang maksimal. Namun itu semua sudah berlalu, sekarang gue adalah sutradara ternama, nggak ada satu orangpun yang boleh melecehkan gue sebagai anak manja !.
            Gue juga selalu akrab dengan gossip miring. Tentang keakraban gue dengan model atau artis – artis yang main di film dan iklan yang gue garap. Sayangnya nggak ada satupun yang kebenarannya terbukti. Jelas saja, buat gue kerjaan itu nggak boleh bercampur dengan urusan pribadi. Dikamus hidup gue, masalah cinta cuman buat hidup merana. Itu karena gue sering lihat temen – temen yang mengeluh masalah dengan cewek mereka yang egois.
            Tapi semua yang gue katakan diatas, hancur waktu gue kenal seorang artis cewek pendatang baru bernama Dewita Catherine. Dia cewek yang cantik, memang kebanyakan artis cantik namun cewek ini berbeda. Dengan matanya yang coklat kehitaman bulat sempurna, bibir yang kecil dan wajahnya imut seperti anak SMP. Padahal dia berusia sekitar Sembilan belas tahun. Kulitnya kuning langsat dengan tinggi diatas rata – rata cewek Asia. Rambutnya yang sering ia cat dengan warna – warna menyala, ia berbeda dengan sikapnya yang ramah dan terkadang polos. Itulah yang gue nilai selama ini.
            Awalnya gue menganggap dia itu sok polos dan terkesan pura – pura lugu. Untuk menarik perhatian gue, tapi dia sama sekali nggak berpura – pura. Gue sadar setelah hari itu gue nemuin dia sedang sendirian di sela – sela waktu syuting. Dia terlihat muram, seolah mengingat sesuatu yang membuatnya sedih. Ekspresi yang jarang ia tunjukkan kepada siapapun. Bahkan pada Radit—salah satu model yang digosipkan dulu dengannya—ia hanya sering bersenda gurau.
            “Lagi mikirin apa sih, kayaknya elo lagi sibuk sendiri ama pikiran elo ?”
Eliza, kakak gue yang bawelnya setengah mampus. Inilah salah satu alasan kenapa para model dan juga artis – artis cewek rada segen deketin gue. Mereka harus berhadapan dengan Elly—itulah sapaan gue—yang memiliki sikap brother complex karena gue sodara satu – satunya. Entahlah.
            “Gue mau ke lokasi, Elly. Elo tuh, merengut nggak jelas.”
            “Hmm.. ada apaan sih di lokasi syuting elo, sampe niat gitu kesana ?”
            “Kerjaan guelaahh… elo ini, curiga aja bisanya.”
            “Patutlah, apalagi elo kayak nyembunyiin sesuatu…”
            Gue ngeloyor pergi, sebelum kena perangkap dari si detektiv Elly. Yang instingnya sangat tajam, gue rasa dia bakal dateng membawa badai ke lokasi syuting gue. Dan itu semua pasti ada konsekuensinya. Yaitu, syuting mendadak berubah jadi acara pesta yang dibuat Elly, dia memang cewek penggemar pesta.
            Hari itu usai syuting, gue berniat pulang buru – buru. Nggak jauh dari mobil, gue melihat Dewi sedang menelpon seseorang dan nggak lama wajahnya terlihat galau. Setelah menutup teleponnya ia menangis tanpa suara, wajahnya memerah terutama di bagian hidungnya yang mancung. Gue baru akan mendekatinya ketika sebuah taksi berhenti tepat dihadapan cewek itu. Ia dengan cepat menghilang, masuk kedalam taksi tersebut.
Taksi itu meluncur ke jalanan dan gue masih tetap terpaku berdiri di tempat. Tanpa berkata, gue merasa hati gue sakit juga melihat cewek itu menangis seperti itu. Gue ingin meluk dia dan tenangin dia didekapan gue, bila saja dia tahu… apa yang gue rasakan saat ini.

Caca
Cowok menyebalkan dan ada apa dengan Dewi ?
Sekolah gue. Sekolah swasta yang ternama, dimana siswa – siswinya berasal dari kalangan berada. Orang tua mereka notabene adalah seorang yang berpengaruh seperti pejabat atau mungkin OKB juga bisa. Kalaupun ada siswa yang terlihat dari kalangan biasa, mereka adalah para jenius lain yang mendapatkan beasiswa dari pihak yayasan sekolah kami. Gue memang jenius dan berharap mendapatkan beasiswa juga, sayangnya Bokap sudah membayar penuh bayaran sekolah gue selama tiga tahun. Gue nggak sombong, tapi biar pendiam gitu Bokap ada perhatian juga beda sama Nyokap yang lebih peduli dengan Miss Artis itu.
            Dino juga bersekolah disini, hanya saja gedung sekolahnya ada dibelakang. Gue sedang asyik dengan pikiran sendiri tiba – tiba seorang cewek menabrak gue dengan sengaja gue rasa. Karena cewek itu adalah Tere. Dia cewek yang paling aneh menurut gue, dia selalu aja ngerusak hari gue yang damai. Entah apa alasan cewek satu ini dengan perlakuannya dia ke gue yang lebih sering kurang ajar.
            “Eh mata empat ! jalan aja lo nggak bisa ya..!” umpatnya.
Gue yang cuek bebek dengan sapaannya di pagi hari, ya berjalan tanpa menghiraukan dia dengan kicauannya. Dia jadi kesal sendiri. Padahal apaan sih yang gue perbuat ke dia ? Marah juga nggak ada, apalagi menyahut omongannya. Memang aneh cewek itu.
            “Heii mata empat, hari ini elo tambah jelek aja.” Erina berkata dan seruan berikutnya menimpali, siapa lagi kalau bukan dari Lola.
            “Iyaa, kacamata lo makin tebel aja. Udah ganti aja, pake kacamata kuda.”
            “Iya tuh, cocok buat penampilan elo yang noraaak !” ucap Tere yang ternyata sudah berkumpul dengan ceesannya.
            Gue menatap dengan tatapan datar kearah mereka. “Kalian udah selesai belom ? Gue mau lewat, buang – buang waktu gue aja sih.”
Mereka ternganga melihat sikap gue yang sama sekali nggak menunjukkan ekspresi kesal atau marah. Gue berjalan melenggang melewati mereka tanpa menghiraukan gerutuan mereka.
            Sedang asyik duduk di perpustakaan tiba – tiba suara dengkuran halus mengganggu gue. Gue melirik kearah asal suara tersebut. Ternyata dia, seorang cowok yang asyik tidur bukannya membaca seperti gue. Apa yang ngebuat cowok itu nyaman tidur ditempat beginian ? kenapa musti ditempat favorit gue ?. Sadar diperhatikan(atau mungkin juga nggak)cowok itu terjaga. Ia menggeliat seperti seekor kucing pemalas. Gue hanya bisa menatap tidak percaya dengan cowok itu, benar – benar cowok tengil yang nggak sadar tempat.
            “Hoooaaahhheemmm…. Hmm..” cowok itu masih belum menyadari keberadaan gue yang masih sedikit tercengang dengan kelakuan cowok itu.
            “Bisa nggak elo, nggak tidur ditempat ini ?” ucap gue ketus tanpa sadar.
Cowok itu menoleh kearah gue dengan tampang bloon dan sedikit tertegun atau tepatnya terkejut.
            “Ehh ? Ahh… g-gue minta maaf, ehehehe.” Sekarang cowok itu cengengesan nggak jelas didepan gue.
            “Elo bisa minggir nggak ? Jadi nggak konsen baca, gue.”
Dia terpana atau lebih tepatnya memasang tampang bloon lagi dengan mulut ternganga. Dan cepat – cepat dia, tersenyum kali ini nggak cengengesan.
            “Sori banget, gue tadi malem habis begadang maen PS soalnya. Kenalin… gue Alnord Saputra. Temen – temen manggil gue Ale. Lo… ?”
Hah ? apaan nih cowok pake acara kenalan segala.
Gue terdiam memasang wajah sinis dan judes. Memang gue jarang senyum malah udah hampir lupa kapan terakhir gue senyum.
            “Gue nggak minat kenalan sama lo. Gue nggak mau tahu siapapun elo.” Ucap gue judes.
            Cowok itu terdiam. Dia memasang wajah bingung dan menatap gue agak lama, karena gue nggak minat dipelototin sampe segitunya. Jadi gue milih beranjak dari sana. Baru saja gue bangkit eh tiba – tiba cowok aneh itu narik tangan gue. Gue melotot kearahnya dengan sangar karena perbuatannya yang nggak sopan banget sama orang yang baru dia kenal.
            “Lepasin…” bisik gue, gue hampir lupa ini perpustakaan kalo aja gue nggak megang buku ditangan gue.
            “Lo belom sebutin nama elo…” balasnya. Matanya mirip mata anak anjing, yang sedang memelas. Itu membuat gue jadi sedikit geram. Pada akhirnya gue mengalah dan nggak mau ribet dengan cowok aneh dengan tampang memelas itu.
            “Caca…” dia bukannya langsung melepas tangan gue, malah salaman dengan senyum kebocahannya dia menatap gue seolah habis menang lotre ?
            Pulang sekolah, gue udah masuk ke kamar kalau saja nggak lihat Dino yang lagi duduk akrab sama si Miss Artis. Nggak biasanya Miss artis itu sudah di rumah sore begini. Biasanya masih berkeliling di tempat syutingnya. Cihh.. membayangkan saja gue udah mual !.
            “Udah pulang Kak Catty ?” Dino memang manggil gue dengan nama ‘Catty’ sesuai dengan nama belakang gue.
            “Kenapa ? Kangen lo sama gue ?.”
            “Dasar sinisss..” gerutu Dino dan mencibir kearah gue.
            “Lo, emang biasa pulang jam segini ya, Ca ?.”
Gue menatap sejenak kearah Miss Artis itu, ada apa dengan dia kenapa begitu perhatian sama gue ?. Dan gue menatap curiga kearah Dino… bocah itu hanya nyengir jenaka.

Song Eun-yo


Orang berkata aku jahat, tapi orang tak tahu apa yang kurasakan hingga sikapku menjadi seperti ini. Aku bukan ingin menjadi penjahat, aku hanya ingin menjadi pusat perhatian. Aku tak mau dilupakan, aku hanya ingin mendapat sedikit tempat di pikiran mereka. Aku ini juga manusia… egois, munafik, dan penuh kritik. Inilah duniaku. Aku tidak mau menjadi seperti mereka – mereka yang memakai topeng kebaikan untuk mendapat simpati. Aku tidak berharap simpati, aku hanya mau jadi pusat perhatian. Ini tentang bukan kecantikan, bukan tentang apapun. Tapi setelah kupikir ini tentang hidupku yang berubah setelah mengenalnya.
“Kau sedang apa ?” Dia bertanya seolah aku sedang tidak marah.
“Apa kau buta ?.”
Aku sedang dihukum dan dia malah bertanya seolah tidak melihat papan yang tergantung dileherku. Aku mendengus sebal padanya.
“Apa kau marah karena pak Kuon tidak mengizinkanmu pulang duluan ?”
            Aku menatapnya garang, benar – benar gadis aneh. Aku benci sekaligus merasa heran dengan gadis yang berada dihadapanku ini. Namanya Song Eun-yo. Gadis aneh dengan kacamatanya, benar – benar gadis yang berbeda dengan yang lain. Harus kuakui itu, karena dia satu – satunya gadis yang mau bertanya tentang masalahku. Hanya saja aku tidak suka ia mencampuri urusanku.
            “Kau ini…” Ucapnya sambil menyodorkan saputangan kearahku. Aku memilih mengabaikannya, membiarkan ia pergi. Aku tidak mau ia kecewa dengan apa yang ia temukan tentang aku yang seorang berandal, pembuat onar yang selalu bermasalah.
            “Pergi ! aku tidak butuh belas kasihanmu.” Ucapku tegas dan meneruskan hukuman yang diberikan Pak Kuon padaku. Ia menatapku datar, kupikir dia akan pergi. Ternyata ia malah menemaniku dan mengajakku bicara mengenai keluarganya yang sangat berisik. Aku yang terkena hukuman dengan terpaksa juga, harus memperhatikan. Apa ini hari yang panjang ? Kurasa mungkin, IYA.
            “Pagiii Jung-sou, kau sedang apa ??” gadis itu tiba – tiba sudah berada disampingku. Padahal aku sedang bersembunyi darinya. Dia begitu banyak bicara tapi entah bagaimana, ia selalu berhasil menarik perhatianku dengan bicara banyak seperti itu.
            “Berisiiikk !” gerutuku. Aku menatapnya geram.
            “Heeii… ayolaaaah, kenapa kau selalu ketus begitu padaku, aku inikan temanmu juga. Rasanya bila dengan teman cowok lain, kau tidak seketus ini.” Wajahnya berubah sedikit sendu.
            “Kau ini, dasar gadis cerewet, apa kau tidak ada pekerjaan lain selain menguntitku ? Lucu sekali, gadis sepertimu menguntit seorang cowok berandal. Dasar gadis aneh !” makiku. Tapi ia bukannya pergi malah tetap duduk disampingku. Seolah ikut menikmati langit senja di musim gugur ini.
            Hari itu tiba – tiba cuaca mendadak mendung. Dan sialnya aku tidak pernah memperhatikan ramalan cuaca hingga aku harus berdiam selama beberapa jam di sekolah. Dan ditambah lagi, aku sudah berjanji tidak akan menelpon Kenji-san. Dia kepala pelayan di rumahku, jika gedung besar itu masih bisa kusebut rumah. Lama aku termenung di lorong sambil memperhatikan hujan yang mulai turun membasahi bumi, memberi penghidupan untuk para tanaman yang ada di halaman belakang sekolahku.
            Aku menatap sekeliling halaman, hari ini gadis itu tidak nampak sama sekali. Tapi entah kenapa aku merasa merindukan si cerewet itu. Aku berusaha mencari informasi pada salah seorang teman sekelasnya, katanya ia tidak masuk karena ada urusan keluarga. Ciihh… urusan keluarga apa ?
            “Jung-sou, sedang apa kau disini ? tidak biasanya masih disekolah jam segini ?”
Suara Dong-cae mengagetkanku. Dia teman sekelasku juga temanku berbuat onar. Dia orang yang sangat baik.
            “Aku lupa membawa payung, kau sendiri mau apa disekolah jam segini ?”
            “Aku mau mengantar surat ini untuk, Eun-yo. kudengar kau sedang dekat dengannya, jadii.. aku harap kau menyampaikan ini untuknya.”
            “Surat apa ? apa kau menyukainya, Dong-cae ?” suaraku terdengar galak sampai – sampai Dong-cae terlihat takut.
            “Jangan salah sangka… itu untuk orang tua walinya. Apa kau tidak tahu, dia itu dibesarkan dipanti asuhan dan sejak kecil hidup sendiri.” Ucap Dong-cae.
            Aku mendengarkan seluruh ceritanya, aku sangat terkejut dan berharap bersikap lebih baik padanya. Dia memang gadis aneh yang berbeda. Diaa… gadis yang manis.
            Aku mengetuk pintu kamar nomor 180, apartemen itu terlihat sudah tua. Bangunannya bobrok, tak kusangka gadis itu tinggal ditempat seperti ini. Sungguh berbeda dengan kepribadiannya yang suka tersenyum. Bangunan itu terlihat suram. Apa yang dia pikirkan saat tinggal ditempat seperti ini ?
            “S-siapaa.. ?” suaranya parau, seperti ia terkena flu.
            “Bukaaa cepaaat disiniiii dingiin, kau tahu tidak …” gerutuku.
Ia dengan segera membuka pintunya dan terkejut melihatku di depan pintu apartemennya.
            “Mau apa k-kau ? Darimaanaa…”
            “Kau tidak mengundangku masuk ? Tidaaak sopan…” ucapku.
            “Ahh.. maaf.” Ia berkata demikian dan mempersilakanku untuk masuk.
Dugaanku sangat salah, kamar gadis itu sangat sederhana dan rapi. Aku suka kamar ini meski kecil namun tidak membuat sesak napas.
            “Maaf, aku sedang kurang enak badan jadi berantakan seperti ini, Jung-sou.”
            Aku menatapnya sejenak dan beralih pada foto di meja dekatku duduk. Disana terdapat foto gadis kecil dengan pita merah muda di kepalanya diapit oleh kedua orangtunya. Sepertinya.. itu foto keluarganya.
            “Merekaa, ayah dan ibuku.” Ucapnya.
            “Aku tidak bertanya. Aku hanya ingin menyerahkan ini, daan.. kau sedang flu, kenapa tidak mengatakan saja kalau kau sakit. Kenapa harus ada urusan keluarga ?”
            Dia menatap amplop itu sejenak, dan beralih padaku dan tersenyum.
            “Kau ini, benar dugaanku. Kau jelas cowok yang baik. Hehee. Aku buatkan teh untukmu, tunggulah.” Aku buru – buru menarik tangannya. Gadis itu demam. Benar. Tangannya panas sekali.
            “Duduklah, aku tidak ingin merepotkan.”
            “Tapii…”
            “Duduk saja, aku ingin kau tidak banyak bergerak.”
Aku menelpon Kenji-san dan menyuruhnya agar membawakan obat yang kuminta, juga makanan untuk menambah tenaga.
            Dia tertidur setelah aku memaksanya. Dan wajahnya sangat cantik, saat itu aku sadar kalau aku menyukai gadis aneh itu. Dia membuatku merasakan bahwa dia harus kulindungi. Aku tersenyum saat mendapati bahwa, aku mungkin akan kerepotan. Dengan gadis satu ini. Song Eun-yo.