Ale
Untuk
pertama kalinyaa…
Bukan aku nggak tahu siapa namanya,
aku cuman ingin dia nyebutin sendiri. Aku selalu memperhatikan dia sejak hari
pertama dia melangkah masuk ke sekolah ini. Dia tidak pernah terlihat
menunjukkan siapa dirinya, tapi orang lain tahu siapa dia. Itu juga bukan
karena kakaknya seorang artis, tapi karena siapa dirinya. Eitss… bukan juga
karena dia orang kaya. Dia itu… ya cewek cantik dengan otak yang super jenius.
Aku jatuh cinta dengan kepribadiannya yang nggak pernah peduli dengan cacian
orang lain. Bukannya aku nggak tahu juga, dia sering diganggu Tere, adik
sepupuku yang memang merasa gusar pada cewek jenius itu. Dia merasa cewek
jenius itu orang yang bakal merusak popularitasnya. Padahal cewek itu sama
sekali nggak peduli apapun tentang gossip sekolah bahkan dia sangat tidak sadar
kalau banyak teman – teman sekelasku yang menjadikan dia ‘most wanted’.
Cewek
itu adalah Clarissa Catherine. Dia mengenalkan diri sebagai Caca. Aku sudah
lama menyukainya, sejak kecil. Hmm.. ini aneh, jujur saja aku mengenalnya sudah
lama, sejak keluargaku pindah ke sebelah rumahnya. Ia tidak pernah menyadari keberadaanku,
selama ini ia selalu berdiam diri dirumah. Sampai suatu hari aku menemukannya
di danau dekat kompleks. Ia sedang menangis, saat itu ia masih kecil jadi bisa
saja ia tidak pernah ingat. Bayangkan ia menangis hanya karena kehilangan
sebuah kalung mainan yang harganya tidak seberapa.
Peristiwa
itu sangat berkenang dihati namun cerita itu mungkin lain waktu akan aku
ceritakan.
“Kenapa
sih, cengar – cengir kayak orang gila lo ? Gimana rasanya baru masuk setelah
libur seenak jidat lo sendiri ?”
“Suka
– suka gue, gue bosen liat buku pelajaran. Lagian bokap juga ngijinin. Elo
siapa emang ?” Dia Netta, tunangan abangku si Radit. Dia emang cerewet tapi
emang cocok sama abangku yang orangnya rada sabar ngadepin omelannya Netta yang
panjangnya ngalahin rel kereta api.
“Kalo
bukan karena permintaan, si Dey lo juga nggak bakal mau nyudahin liburan lo,
iyakan ?.” tebak abangku, si Radit yang tiba – tiba nongol kayak jin.
“Bodo’
amat !” gerutuku.
“Apa
nggak papa, elo balik setelah dua bulan nggak masuk ?” tanya Netta.
“Ya
nggak masalah, cuman gue turun kelas aja, jadi kelas dua lagi.” Sahutku.
“Hmm…
elo udah sebulan disana, apa dia sama sekali nggak nyadarin keberadaan elo, Al
?” Radit terlihat serius.
“Nggak,
dia masih sibuk sama dunianya. Gue mau dia sadar gue ada tapi belom nemuin cara
yang tepat..”
“Hah
? Playboy cap gembok susah deketin cewek yang bener aja ?.” Kali ini Netta mengejekku
dengan bangga.
“hahahaahaa…
santai dong, kakak ipar. Elo tuh nggak sabaran ya…”
Aku lari sebelum kena timpuk sepatu
milik Radit yang sudah akan melayang menuju wajahku. Karena dia tahu apa yang
akan aku katakan selanjutnya.
…
Hari itu, akhirnya aku bisa berkenalan
dengannya. Aku bahagia dan ini lebih dari menang lotre. Aku merasa dia hanya
kesepian dan membiarkan perasaan tersebut berkembang menjadi rasa yang tak
boleh disentuh oleh siapapun. Ia mengunci dirinya rapat – rapat dengan sikap
dingin, jutek, dan ketusnya kepada orang lain. Yang kuharap hanya, ia
mengingatku sejujurnya. Karena aku benci dilupakan oleh orang yang selalu aku
perhatikan.
“Elo
lagi ngapain sih, Al ? Bengong !” Rutuk Tere. Dia terlihat merengut saat
melihat arah pandangan mataku. Benar. Aku sedang menatap Caca yang sedang duduk
di pojokan aula dengan buku yang ia bawa sejak tadi. Ia memang anti olahraga,
entah kenapa ia jarang mau ikut berlari atau main basket dengan siswa lain yang
sekelas dengannya.
“Elo
lagi olahraga, kenapa kemari ?”
“Gue
bosen tau, elo ngapain sih liatin si cupu itu ?”
Dia
bersandar di tembok kelas lantai dua dengan santainya. Ia memang seorang cewek
yang sangat mengerti fesyen tapi dia jelas bukan cewek yang mengerti bahasa
tubuh. Kalau aku rada malas dengan dia yang selalu bicara seenaknya sendiri
apalagi dengan Caca, yang jelas – jelas tidak pernah mengusiknya.
“Suka
– suka gue, mata – mata gue. Kenapa musti elo sewot.” Balasku dengan nada yang
ketus.
“Iiih..
Ale, lo itu harusnya nyadar dong. Elo itu cowok cakep yang jadi inceran anak
sekolah kita, cewek satu sekolah sini rela jadi yang kedua demi elo, tapi
kenapa elo malah ngecewain mereka dengan deket sama si cupu itu.”
“Semua
? apa itu termasuk dia ?” ucap gue menunjuk kearah Caca.
“Bisa
aja, diakan cewek nggak laku.” Balas Tere dengan nada yang sangat menghina.
Aku hanya bisa
tersenyum mendengarnya sebab bukan hanya nada menghina yang ada dikalimat itu.
Nada iripun sangat terdengar jelas. Aku tahu, Tere memang tidak mau punya
saingan, apalagi cewek yang jelas – jelas sangat mirip dengan artis idolanya.
Siapa lagi kalau bukan Dewita Catherine, Dey—lebih tepatnya kakak
Caca—panggilan akrabnya.
“Oh ya, gue nggak
yakin kalo lo nggak tahu, kalo dia itu kembaran dari Dey. Elo fans berat Dey
kan ?”
“Ale ! gue bakal
bilang ke nyokap gue. Elo itukan tunangan gue, kenapa sih elo merhatiin si cupu
itu !” geram Tere.
“Bilang aja, gue
nggak takut sama nyokap lo, dan inget pertunangan kita itu batal, sejak elo
lebih milih Reno dari gue. Bukannya elo, cinta sama bajingan matre itu, hm ?”
“Eloo…”
“Pergi sana, jangan
sampe ada yang denger kecemburuan lo itu.” Ucapku. Karena obrolan itu aku jadi
kehilangan momen melihat Caca deh. Cewek nyebelin itu, ngeselin juga. Setelah
cewek itu pergi, aku nggak melihat Caca lagi. Dia malah udah nggak ada
ditempatnya tadi.
…
Aku
menemukannya. Dia berada diatap sekolah dengan wajah yang terlihat merenung dan
sendu. Matanya menerawang menatap langit senja yang memang terlihat indah dari
atas sini. Dia seakan berharap, berdoa, dan meminta sesuatu. Dia ingin apa?.
Entah
apa yang kupikirkan mendadak tubuhku bergerak dan mendekatinya perlahan hingga
ia menoleh. Terkejut begitu melihat keberadaanku. Akupun terkejut, ternyata
cewek itu menangis sejak tadi. Kenapa aku tidak sadar, kalau dia menangis.
Untuk pertama kalinyaa… aku melihat mata itu dari dekat lagi… mata yang meminta
untuk ditolong. Mata yang begitu terluka, begitu tersayat hingga aku tanpa
sadar memeluknya.
Aku
ingin menghapus airmatanyaa… sungguh.
Caca
Aku
tidak peduli… dan apa aku pantas memaafkan… ??
“LEPASIN !” Gue nggak tahu, darimana
cowok menyebalkan itu muncul. Tapi secara tiba – tiba dia udah berada disana
(mirip anak jin) dan memeluk gue dengan seenaknya. Maksudnya apa, kalau bukan
mau berbuat yang nggak baik sama gue. Bukan begitu ?.
“Sorii..
gue refleks, habis elo nangis. Gue cuman mau nenangin elo, gue minta maaf kalo
kurang sopan, Ca.” wajahnya terlihat cemas ? Heh? Cowok aneh.
Gue
menatap cowok itu dingin. Gue juga salah, harus jadi cengeng di tempat kayak
gini. Harusnya gue nggak kesini. Ini semua gara – gara Miss Artis itu tiba –
tiba berkata hal yang jelas tidak terbukti. Ini menyebalkan !.
“Gue
nggak butuh, belas kasian lo.”
Gue pergi
meninggalkan cowok menyebalkan itu dan berlari menuju toilet jelas saja. Gue
nggak bisa lama – lama begini, gue harus
tahu sebenarnya. Benarkah apa yang dikatakan Miss Artis itu tentang nyokap.
Karena gue sungguh nggak bisa percaya dengan fakta bahwa. Kedua orangtua kami
berpisah karena nyokap punya cowok idaman laen. Gue nggak mau terima itu begitu
saja. Jadi, gue harus ketemu sama nyokap. Apapun yang sebenernya, gue harus
tahu secara langsung dari dia !.
…
Dia terlihat sama saat terakhir gue lihat di
persidangan. Jangan kira mentang – mentang nyokap gue artis, gue bakal seneng
nonton dia di televisi. Buat gue, itu adalah hal yang gue benci.
Dia menatap gue
seolah gue ini orang lain. Kalian pasti nggak akan mau membayangkan gimana
perasaan gue saat ini. Sangat menyakitkan dan begitu ingin menumpahkan sumpah
serapah dari mulut gue. Tapi gue masih ingat, dia adalah pemberi kehidupan gue.
Dia yang telah membawa gue ke dunia ini, dia yang mengenalkan gue sama semua
hal yang ada dibumi. Seburuk apapun, bukankah dia tetep seorang ibu yang pernah
bertaruh nyawa untuk gue, Dewi, dan Dino.
“Ada apa kamu
kesini ?” dia terlihat sedang sibuk
bersolek di depan cermin meja riasnya yang berada dikamar, ruangan apartemennya
yang elit banget. Setidaknya itu yang bisa gue tangkep dari bahasa tubuhnya.
“Mamii.. apa Mami
tinggal dengan seseorang disini ?” wajahnya terkesan dingin menutupi
kegugupannya. Ia sangat mudah dibaca, maksudku ekspresinya. Dia memang berbeda
dengan Bokap gue yang sangat pendiam. Dia seperti halaman buku yang terbuka.
“Bicaramu ngawur,
Catty.”
Gue memasang wajah
sedatar mungkin untuk menahan semua perasaan sakit hati saat ini. Gimanapun,
dia harus jujur sama gue. Karena dengan jelas matanya berbohong, kebohongan
yang membuat keluarga kecil gue hancur.
“Mamiiiii !” Pekik
gue, “Mami, boleh bohong sama semua orang termasuk Papa, tapi Mami nggak bisa
bohong sama aku dan Dewi, Kita tahu, Mami bukan pembohong yang baik.” Lanjut
gue dengan nada dingin.
“Cukup ! Kamu…
harus pulang, Mami ada syuting. Ini ongkos taksi, cepat pulang. Mbok Gin sudah,
nunggu kamu.” Ucapnya. Ia memunggungiku, sambil menelpon seseorang.
Gue menatap
punggung wanita yang pernah sekali waktu mencium kening gue. Memberikan gue
sebuah kehangatan dikala gue sedang sakit. Wanita yang memilih dunia yang gue
benci bahkan hingga bercerai dari bokap. Menghilangkan keluarga impian gue. Gue
merasa dia nggak pernah mengharapkan gue, untuk ada.
Apakah gue akan
bisa memaafkan dia bila nanti dia menyesal atas perbuatannya..? Dan apakah gue
pantas, memaafkan dia…? Gue nggah tahu… dan gue udah nggak peduli… akan seperti
apa nantinyaa. Karena wanita itu telah berhenti mencintai dan menyayangi semua
hal dengan tulus. Wanita itu… seakan tidak mau tahu, perasaan gue ini. Apakah
gue salah berharap dia masih punya perasaan lembut seorang ibu ?.
Dewi
Aku
minta maaf… aku ingin berhenti saja…
Sore itu aku mendapatkan telepon dari
pihak sekolah bahwa, Caca membolos di pertengahan jam sekolah. Dan mereka
yakin, Caca bukan murid yang suka membolos jadi mereka menelpon ke rumah untuk
menanyakan apa yang sekiranya terjadi pada salah satu murid jenius mereka. Aku
hanya menyampaikan adikku itu kurang sehat, jadi dia sedang istirahat dirumah.
Pihak sekolah menerima perkataanku dan segera setelah sambungan telepon itu
terputus aku mendengar suara seseorang masuk. Aku yakin itu Caca.
“Caa…
elo kenapa ?” matanya terlihat merah, sembab mirip mata ikan mas koki. Ia
menatapku sekilas, dia tampak tidak peduli pada pertanyaanku dan melanjutkan naik
menuju kamarnya.
“Caca
! Tunggu !” Pekikku mengikutinya naik tangga.
Ia berhenti dan menoleh padaku, lalu
melempar pandangan jijik juga marah ?
“Jangan
deketin gue, gue benci kalian !”
“Ca
! Gue tau elo benci gue, tapii… sejak kapan elo mulai belajar bolos?” ucapku
ketus padanya.
“Cih..
nggak usah sok perhatian sama gue !” Balasnya sengit.
“Apaa
? Gue cuman nggak mau elo nantinya…”
“Gue
nggak butuh ceramah dari orang yang pulang cuman untuk tidur aja kerumah, kalo
gedung ini masih bisa disebut rumah...” Tukasnya “…Dan satuhal, elo memang
bener, nyokap itu punya orang laen, selamet Dey !”
Aku
terpaku menatap adik kembarku, mencerna perkataannya. Sementara ia sudah
melanjutkan langkahnya menaiki tangga menuju kamar. Perasaanku bercampur aduk
antara syok dan sedih seperti waktu itu. Ia berharap, Caca berkata tidak benar.
Namun sepertinya, mengingat sikap Caca yang seperti tadi hal yang ia katakan
benar adanya. Aku terdiam, perasaanku benar – benar tidak mau mempercayai apa
yang Caca katakan.
…
Aku tahu, Radit menatapku tajam sedari
tadi. Melihat mataku yang memerah, bukan hanya Radit tapi Netta juga menatapku.
Aku bingung harus mengatakan apa pada mereka. Serba salah, ini adalah masalah
yang sangat pribadi meskipun mereka tahu orangtuaku telah berpisah lama. Tapi…
aku masih merasa takut untuk menceritakannya. Takut kalau – kalau aku menangis
lagi. Huhh… aku jadi sedih sendirii… akhh…!
“Elo
nggak mau, bilang nih masalah elo?.” Tanya Netta.
“Gue
rasa belom waktunyaaa…”
“Kenapa
?” Radit kali ini bersuara.
“Yaa,
ini masalah gue sama nyokap, Dit. Kalian perlu tahu itu aja sih, sisanya gue
belom mau percaya apapun perkataan, si Caca.”
Netta
dan Radit menatapku dengan perasaan bingung. Mereka yakin ada hal yang serius
jadi mereka tidak menanyakan apapun setidaknya tidak untuk saat ini. Aku merasa
kacau sampai – sampai aku ingin menumpahkan semuanya kepada siapapun asal
jangan kepada kedua sahabatku saja.
…
Aku berjalan perlahan menuju mobil
saat melihat Archie dengan seorang cewek yang sangat cantik, usianya aku
perkirakan sekitar dua puluhh empat tahun. Cewek itu sangat luar biasa cantik.
Aku memperhatikan sedang berdebat, sampai Archie melihatku berdiri di dekat
mobil dan ia terlihat terkejut ? benarkah ? Aneh sekali.
Kali
ini bukan hanya Archie yang menatapku, tapi cewek yang ada disebelahnya juga
menatapku. Cewek itu tersenyum misterius dan mengajak Archie masuk ke mobil.
Sungguh cewek yang aneh, tapi kalo dipikir – pikir gue rasanya pernah lihat
cewek itu, tapi dimana dan kapan ?
“Oooh…
sudahlah Dey, elo udah cukup banyak masalah hari ini..” Gumamku sendiri dan
masuk ke mobil.
…
Bersembunyi dari
wartawan adalah hal yang ingin kulakukan. Karena mereka paling tidak telah
mencium berita terhangat dan bukan hal yang mustahil akan bertanya – tanya
tentang Mami kepadaku. Itu malah ‘ngbuat aku bersikap buruk pada mereka jadi
lebih baik menghindari mereka. Sangat sulit menghindari mereka, tahukan mereka
butuh berita untuk bisa menampilkan yang terbaik untuk para pemirsa setia
mereka. Tapi itu semua justru sedikit perlu ekstra permakluman kalo privasi aku
sebagai remaja jelas terganggu.
“Dewi
!” seseorang yang sedang berdiri dekatku memanggilku, Archie. Aku sedikit
terkejut karena ini bukan tempat syuting dan biasanya dia tidak memanggilku
dengan namaku, julukannya untukku banyak tak bisa ku hitung. Dari semua
julukannya tidak ada yang enak di dengar.
“Oh..
eh.. Archie, sedang apa lo di Mall gini ?”
“Lagi
keliling aja, nganter…” tiba – tiba seorang cewek datang menghampiri kami
berdua. Cewek yang aku lihat waktu itu. Cewek cantik dengan wajah khas banget,
bener – bener cantik. Bukan berarti aku ngerasa minder hanya saja cewek itu
memang cantik dan anggun dengan mata berwarna hijau, kurasa itu lensa kontak.
“Hai,
elo Dewi Catherine. Bolehkan kita panggil elo Dey ?” cewek itu menggandeng
tangan Archie, aku rasa dia adalah kekasih Archie.
“Tentu
aja.” Aku memberikan senyumku. Entah kenapa aku merasa Archie sedikit canggung.
“Eloo…”
“Gue
Eliza, elo boleh panggil gue Elly. Lo jelas udah kenal Archie dong ?”
“Iyaa,
gue kan lagi main di filmnya dia… kalian kemari sedang ada acara ya, gue nggak
enak nih nganggu, hehehe.”
“Elo
mau kemana emang ?” tanya Archie.
“Gue,
mau ke toko buku sih sekalian ke café situ tuh.”
Elly
menatapku penuh selidik, aku jadi merasa sedikit risih tapi biarlah mungkin dia
takut kalau pacarnya kecantol sama artis hehe. Lucu juga, aku jadi sedikit
melupakan kesedihanku.
“Kalian
darimana ?”
“Gue
dari nganterin Archie tadi keliling, yaudah kami duluan ya, Dey.” Senyum Elly
terlihat tulus sementara Archie sedikit kesal ? apa bener yang aku lihat tadi
cowok itu kesal pada kekasihnya. Kenapa harus kesal, bukankah sikap Elly baik
terhadap temannya eh rekan kerjanya. Cowok itu memang aneh kelihatannya.
…
Hari
ini rumah sepi, Dino sedang di rumah temannya Fia belajar kelompok.
Sedangkan Caca sendiri, dia sudah mau masuk sekolah setelah hari itu, namun ia
jadi makin pendiam dan jarang berekspresi. Hanya ada Mbok Gin yang ku lihat
tadi di pekarangan sedang menyiram tanaman.
Aku menatap
pantulan diriku dicermin kamarku. Sudah terlalu lama aku tidak tidur di kamar
ini. Kamar ini saksi bisu saat aku merasa berduka atas perpisahan kedua
orangtuaku. Mereka tidak pernah masuk kemari, bukan hanya kedua orang tuaku
namun adik – adikku sendiri, Mbok Gin, dan pengurus rumah yang lain tidak
kuberikan izin masuk kemari. Sekalipun aku tidak pernah pulang.
Seandainya ada yang
pernah masuk, pasti mereka tidak tahu seberapa parahnya kamar ini. Temboknya di
cat dengan warna hitam dan merah marun. Kamarku sangat bernuansa gothic. Tidak ada yang akan percaya
kalau mereka melihat warna rambutku. Ini memang keinginanku sejak lama, bisa
diwarnai sesuka hatiku dan aku memotongnya dengan model bob. Berbeda dengan
Caca, yang lebih suka berpenampilan biasa (dengan rambut panjang hitam yang
indah) namun kami tetap serupa dalam hal fisik. Ia cantik, bisa dikategorikan
dalam cewek populer, hanya saja dia tidak pernah mau peduli. Aku ingin seperti
dia, terkadang iri dengan sikapnya yang sangat perdiam. Dingin terhadap orang
lain mungkin bukan sikapnya yang terpuji tapi ia bukan orang yang jahat, ia
hanya ingin menjadi dirinya sendiri. Aku
sama seperti dia.
Tiba – tiba
ponselku berdering, melantunkan lagu favoritku saat ini. Aku menatap layar
ponselku disana tertera nama “Annet”. Itu Netta, aku segera menerima panggilan
masuk tersebut.
“Haloo.. napa Netta
?” tanyaku dan terdengar suara Netta diujung telpon sana.
“Dey, Caca pingsan
di sekolah, barusan Ale telepon Radit.”
Tersentak, aku
langsung panik. Anak itu, nggak mungkin separah itu dia bukan cewek lemah. Aku
tahu itu.
“Gimana keadaannya,
kenapa bisa pingsan ?”
“Dia dikerjain sama
temennya, untung Ale terus mantau dia. Kalo nggak adek lo bisa kenapa – napa,
Dey. Sekarang elo cepetan ke rumah Radit ya, gue tunggu.” Sambungan telpon
langsung kuputus. Aku mengambil kunci mobilku dan pamit pada Mbok Gin. Aku
tidak bisa memberitahu beliau tentang keadaan Caca, beliau pasti akan sangat
khawatir bahkan melebihi Mami.
Aku
mendengar kata ‘dikerjain’ tadi seolah aku merasa ada yang tidak menyukai Caca
disekolah. Tapi siapa ? setega itu sama adikku yang jarang bicara dan bahkan
sama sekali tidak suka berdebat hal – hal sepele. Kepalaku serasa berputar –
putar dengan banyak pertanyaan.
Selama
ini aku tidak tahu apapun mungkin tentang Caca, tentang bagaimana ia menghadapi
teman – temannya di sekolah. Apa ini semua terjadi karena kesalahanku juga
sebagai kakaknya.
Aku
minta maaf, Catty dan setelah syuting film ini selesai. Aku akan berhenti saja
dari entertainment yang sering kamu
sebut sebagai ‘dunia setan’. Aku akan mengundurkan diri dan melanjutkan
sekolahku. Tapi maukah kamu memaafkan aku, Catty ?
Tanpa
kusadari airmataku menetes.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar