Senin, 23 Januari 2012

Song Eun-yo (Part 3)


Hari ini begitu terik, menyebalkan. Ini bukan tempatku. Setidaknya itulah yang aku rasakan. Ini semua karena pak tua itu. Aku harus berada disini demi sebuah hal yang sangat kubenci. Dan lagi, ini semua menjadi buruk karena gadis itu kemarin terlihat sangat bersemangat untuk orang lain. Itu semua menyebalkan. Seandainya saja ia tahu, kalau aku menyukainya, kupikir aku ini memang bodoh. Meninggalkan gadis itu dan datang kemari padahal aku tahu, pak tua itu pasti punya maksud lain dengan menyuruhku kemari.
            “Tuan Muda, anda sudah ditunggu oleh para tamu…” ucap Kenji-san. Dia membungkuk dan kemudian menghilang.
            “Dimana dia ?” tanyaku ketika pak tua itu tidak nampak sama sekali di ruang kerjanya yang ada di rumah pantai kami.
            “Sedang mencari ayah ?” tiba – tiba pak tua itu muncul dari balik pintu yang tertutup dekat lemari.
            “Apa yang kau inginkan ?”
            “Hanya menyapamu, kau ini sangat tidak sopan, aku ini ayahmu… Jung-sou.”
            “Secara hukum.” Tukasku sengit. Mendengar nadanya yang riang.
            “Nak, sudahlah… kau tahu, aku memang mengangkatmu jadi anakku, karena aku menyayangimu, Urusan Henna tak menyukaimu adalah masa lalu. Ayolahh… lupakan saja.” Ucap pak tua itu dengan santai.
Mendenger nama Ibu angkatku aku jadi mengingat kesedihanku dimasa kecil. Saat ibu angkatku itu menyekapku di gudang bila aku dianggapnya mengganggu. Padahal apa yang pernah kutahu? Aku tidak mengerti apapun, aku tidak pernah berbuat sesuatu hal yang salah. Apakah, aku tidak layak menjadi anaknya. Park Henna, adalah sosok wanita dictator yang kejam untukku saat itu. Tiap kali ia berteriak padaku karena aku mendapat nilai buruk, tiap kali ia marah, ia selalu saja mengataiku anak tidak berguna. Dan terakhir yang sangat menyakitkan adalah ketika ia berkata bahwa aku tidak sama dengan mendiang anaknya, Park Jung-Han. Jung-Han, kakak angkatku yang meninggal setahun setelah aku diangkat dikeluarga Park, menjadi bagian keluarga ini adalah sebuah kesalahan untukku. Mungkin saja harusnya pak tua ini, tidak memasukkanku menjadi salah satu ahli waris disurat wasiatnya, agar ibu angkatku tidak lebih membenciku.
“Jung-sou…” suara itu menghaburkan lamunanku. Aku hanya menatap kosong kearah pak tua itu. “…kau mendengarku ?”
“Maaf, tapi aku sedang sibuk dengan pikiranku, jadi aku sama sekali tidak mendengarmu, pak tua.” Ucapku tanpa merasa tidak sopan. Toh ia senang kupanggil seperti itu. Ia biasa tersenyum bila mendengar panggilan itu.
“Ohh… kau ini, aku bilang… hari ini kau harus menemani, Henna di rumah sakit. Ia sendirian di sana, aku harus pergi ke Seoul untuk beberapa minggu. Maukah kau melakukan itu, Jung-sou ?”
Aku yakin ia melihat wajahku mendadak berubah seperti orang keracunan, aku tahu ibu angkatku itu memang masuk rumah sakit karena radang usus buntu tapi bukannya ia sudah bisa pulang seminggu yang lalu.
“Pak tua, bukankah ia sudah bisa pulang ? Kecuali… ada hal yang tidak kau katakan padaku.” Ujarku kali ini aku menangkap sorot kesedihan dimata pak tua itu.
“Ayolah, Nak… dia hanya ingin bertemu denganmu, ia tidak seburuk apa yang kau pikir selama ini..”
Aku terdiam. Aku hanya menatap dan termenung lalu mengangguk pelan. Kupikir meski ia seorang dictator tapi bukankah dictator masih sama saja dengan manusia yang lainnya ?.
...
Park Henna, sosok wanita dictator yang kutakuti kini bukan lagi seorang yang selama ini kulihat. Ia terlihat sangat kurus, matanya cekung ditambah dengan lingkar dibawah matanya yang menghitam. Aku hanya diam tanpa ekspresi menatapanya sedang terkulai lemah di tempat tidur. Perlahan seorang suster masuk dan tersenyum menyapaku, ketika ia melihatku berdiri disana. Aku hanya mengangguk membalas sapaan suster itu.
            “Maaf apakah anda, Tuan Park Jung-sou ?” Tanya suster, setelah mengganti bunga di vas tersebut.
            “Iya…”
            “Oh, Nyonya Henna sering bercerita tentang anda, dia selalu memuji anda. Dia selalu berkata, ‘ia ingin minta maaf…’ diakhir ceritanya tentang anda.” Ujar suster dengan ramah.
            “Apa penyakitnyaa…” gumamku.
            “Maaf, anda berkata sesuatu, Tuan ?”
            “Ya, aku bertanya apa penyakitnyaa ?” jawabku tanpa basa basi.
            “Apakah ayah anda tidak mengatakan apapun, Tuan ?”
            “Tidak, bisakah kau memberitahuku ?”
Aku sangat terkejut ketika suster itu mengajakku pergi ke ruang Dokter Min. Dokter keluarga kami. Jika aku masih bisa menyebut mereka—orangtua angkatku—keluarga. Henna, ibu angkatku mengidap penyakit kanker lambung stadium akhir. Ia sulit untuk mencerna makanan, jadi ia hanya bisa makan lewat selang infus. Ia sudah tidak kuat menahan penyakitnya sehingga tidak ingin mengikuti kemoterapi. Sejak ia di vonis mengidap penyakit tersebut ia sudah seperti orang yang berbeda.

Aku kembali ke kamar wanita itu, tapi aku tidak menemukan ia dimanapun. Aku mencari keseluruh penjuru ruangan dan sama sekali ia tidak terlihat dimanapun. Jantungku sudah berdebar ketakutan. Detik berikutnya aku mendengar suara pintu terbuka dan mendapati sosok yang kucari sedari tadi.
            “Jung-sou, kejutan sekali kau datang.” Ucapnya sambil menggeret peralatan infusnya.
            “Yaa, kenapa berkeliaran dengan benda seperti itu, ibu ?”
            “Oh, aku lelah hanya berbaring disana.” Ia menunjuk tempat tidurnya. Aku menuntunnya untuk berbaring dan ia hanya diam. Airmukanya nampak letih.
            “Ibu, kau harus istirahat agar sembuh.” Ucapku.
            “Naak, aku minta maaf. Aku salah menilaimu, aku tidak tahu kau sangat terluka karena perbuatanku di masa kecilmu.” Ibu angkatku terllihat muram dan lebih letih dari sebelumnya. Ia jadi terlihat lebih manusiawi daripada yang dulu. “Mungkin kau tidak memaafkanku, tapi… aku benar – benar berharap kau mau menemaniku disaat – saat terakhirku..” kini airmatanya telah jatuh membasahi pipinya.
            “Lupakan saja, mungkin aku harusnya tidak masuk dalam keluarga kalian.”
            “T-tidaak, kau harus tahu… lebih awal, kau adalaahh.. akhh lambungku, Jung-sssou…”
Aku menatap ibu angkatku dan panik, segera saja aku memijit bel dekat tempat tidur. Tak lama Dokter Min tiba dengan para suster, mereka menyuruhku untuk menunggu diluar. Ibu angkatku dibawa keruang Icu. Yang tidak pernah kutahu adalah saat ibu angkatku dibawa ke ruangan tersebut, kali itulah kali terakhir aku menatap wajah ibuku. Dia terlihat ingin mengatakan sesuatu namun terlambat, ia sudah dibawa masuk keruangan tersebut.
            Tak berapa lama Dokter Min keluar. Wajah dokter itu terlihat muram juga para suster yang membawa ibuku masuk ke ruangan tersebut.
            “Jung-sou, maaf… kami sudah melakukan sebisanya, tapi… ibumu…”
Aku berlari masuk tanpa peduli apa yang dikatakan  Dokter Min. Menatap tubuh ibuku yang sudah tertutup kain putih. Aku berjalan mendekat, menatap tanpa bergeming sedikitpun. Tidak ada airmata, tidak ada setetespun bulir bening itu nampak, hanya hatiku merasa sakit. Lebih sakit dari apapun yang ia perbuat. Aku baru menyadari aku tidak membencinya, aku telah memaafkannya. Aku sangat menyayanginya maka dari itu aku selalu berusaha untuknya. Aku selalu berusaha untuk memenangkan hatinya. Belajar dengan giat dan mendapat nilai bagus itu semua demi sebuah pujian, cinta kasihnya.
            Aku tetap diposisiku, hingga Ayahku tiba. Ia menangis sejadi – jadinya begitu pula dengan Kenji-san. Walau Kenji-san hanya menitikkan sebuah airmata namun ia juga sangat terlihat terluka. Aku tidak tahu saat ini wajahku terlihat seperti apa namun Kenji-san menarikku dan memintaku untuk duduk. Ia takut aku jatuh pingsan karena saat itu ternyata wajahku sangat pucat.
            Ayahku memelukku, aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya ingin menemui dia dan berbagi sedihku mengatakan apapun yang kurasakan. Apakah ia mau mendengarkan keluhku, Song Eun-yo… aku membutuhkan semangatmu untuk melalui ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar