Hari ini begitu terik, menyebalkan. Ini
bukan tempatku. Setidaknya itulah yang aku rasakan. Ini semua karena pak tua
itu. Aku harus berada disini demi sebuah hal yang sangat kubenci. Dan lagi, ini
semua menjadi buruk karena gadis itu kemarin terlihat sangat bersemangat untuk
orang lain. Itu semua menyebalkan. Seandainya saja ia tahu, kalau aku
menyukainya, kupikir aku ini memang bodoh. Meninggalkan gadis itu dan datang
kemari padahal aku tahu, pak tua itu pasti punya maksud lain dengan menyuruhku
kemari.
“Tuan
Muda, anda sudah ditunggu oleh para tamu…” ucap Kenji-san. Dia membungkuk dan
kemudian menghilang.
…
“Dimana
dia ?” tanyaku ketika pak tua itu tidak nampak sama sekali di ruang kerjanya
yang ada di rumah pantai kami.
“Sedang
mencari ayah ?” tiba – tiba pak tua itu muncul dari balik pintu yang tertutup
dekat lemari.
“Apa
yang kau inginkan ?”
“Hanya
menyapamu, kau ini sangat tidak sopan, aku ini ayahmu… Jung-sou.”
“Secara
hukum.” Tukasku sengit. Mendengar nadanya yang riang.
“Nak,
sudahlah… kau tahu, aku memang mengangkatmu jadi anakku, karena aku
menyayangimu, Urusan Henna tak menyukaimu adalah masa lalu. Ayolahh… lupakan
saja.” Ucap pak tua itu dengan santai.
Mendenger nama Ibu
angkatku aku jadi mengingat kesedihanku dimasa kecil. Saat ibu angkatku itu
menyekapku di gudang bila aku dianggapnya mengganggu. Padahal apa yang pernah
kutahu? Aku tidak mengerti apapun, aku tidak pernah berbuat sesuatu hal yang
salah. Apakah, aku tidak layak menjadi anaknya. Park Henna, adalah sosok wanita
dictator yang kejam untukku saat itu. Tiap kali ia berteriak padaku karena aku
mendapat nilai buruk, tiap kali ia marah, ia selalu saja mengataiku anak tidak
berguna. Dan terakhir yang sangat menyakitkan adalah ketika ia berkata bahwa
aku tidak sama dengan mendiang anaknya, Park Jung-Han. Jung-Han, kakak angkatku
yang meninggal setahun setelah aku diangkat dikeluarga Park, menjadi bagian
keluarga ini adalah sebuah kesalahan untukku. Mungkin saja harusnya pak tua
ini, tidak memasukkanku menjadi salah satu ahli waris disurat wasiatnya, agar
ibu angkatku tidak lebih membenciku.
“Jung-sou…” suara itu
menghaburkan lamunanku. Aku hanya menatap kosong kearah pak tua itu. “…kau
mendengarku ?”
“Maaf, tapi aku sedang
sibuk dengan pikiranku, jadi aku sama sekali tidak mendengarmu, pak tua.” Ucapku
tanpa merasa tidak sopan. Toh ia senang kupanggil seperti itu. Ia biasa
tersenyum bila mendengar panggilan itu.
“Ohh… kau ini, aku
bilang… hari ini kau harus menemani, Henna di rumah sakit. Ia sendirian di
sana, aku harus pergi ke Seoul untuk beberapa minggu. Maukah kau melakukan itu,
Jung-sou ?”
Aku yakin ia melihat
wajahku mendadak berubah seperti orang keracunan, aku tahu ibu angkatku itu
memang masuk rumah sakit karena radang usus buntu tapi bukannya ia sudah bisa
pulang seminggu yang lalu.
“Pak tua, bukankah ia
sudah bisa pulang ? Kecuali… ada hal yang tidak kau katakan padaku.” Ujarku
kali ini aku menangkap sorot kesedihan dimata pak tua itu.
“Ayolah, Nak… dia hanya
ingin bertemu denganmu, ia tidak seburuk apa yang kau pikir selama ini..”
Aku terdiam. Aku hanya
menatap dan termenung lalu mengangguk pelan. Kupikir meski ia seorang dictator
tapi bukankah dictator masih sama saja dengan manusia yang lainnya ?.
...
Park Henna, sosok wanita dictator yang
kutakuti kini bukan lagi seorang yang selama ini kulihat. Ia terlihat sangat
kurus, matanya cekung ditambah dengan lingkar dibawah matanya yang menghitam.
Aku hanya diam tanpa ekspresi menatapanya sedang terkulai lemah di tempat
tidur. Perlahan seorang suster masuk dan tersenyum menyapaku, ketika ia melihatku
berdiri disana. Aku hanya mengangguk membalas sapaan suster itu.
“Maaf
apakah anda, Tuan Park Jung-sou ?” Tanya suster, setelah mengganti bunga di vas
tersebut.
“Iya…”
“Oh,
Nyonya Henna sering bercerita tentang anda, dia selalu memuji anda. Dia selalu
berkata, ‘ia ingin minta maaf…’ diakhir ceritanya tentang anda.” Ujar suster
dengan ramah.
“Apa
penyakitnyaa…” gumamku.
“Maaf,
anda berkata sesuatu, Tuan ?”
“Ya,
aku bertanya apa penyakitnyaa ?” jawabku tanpa basa basi.
“Apakah
ayah anda tidak mengatakan apapun, Tuan ?”
“Tidak,
bisakah kau memberitahuku ?”
Aku sangat terkejut ketika suster itu
mengajakku pergi ke ruang Dokter Min. Dokter keluarga kami. Jika aku masih bisa
menyebut mereka—orangtua angkatku—keluarga. Henna, ibu angkatku mengidap penyakit
kanker lambung stadium akhir. Ia sulit untuk mencerna makanan, jadi ia hanya
bisa makan lewat selang infus. Ia sudah tidak kuat menahan penyakitnya sehingga
tidak ingin mengikuti kemoterapi. Sejak ia di vonis mengidap penyakit tersebut
ia sudah seperti orang yang berbeda.
Aku kembali ke kamar wanita itu, tapi aku
tidak menemukan ia dimanapun. Aku mencari keseluruh penjuru ruangan dan sama
sekali ia tidak terlihat dimanapun. Jantungku sudah berdebar ketakutan. Detik
berikutnya aku mendengar suara pintu terbuka dan mendapati sosok yang kucari
sedari tadi.
“Jung-sou,
kejutan sekali kau datang.” Ucapnya sambil menggeret peralatan infusnya.
“Yaa,
kenapa berkeliaran dengan benda seperti itu, ibu ?”
“Oh,
aku lelah hanya berbaring disana.” Ia menunjuk tempat tidurnya. Aku menuntunnya
untuk berbaring dan ia hanya diam. Airmukanya nampak letih.
“Ibu,
kau harus istirahat agar sembuh.” Ucapku.
“Naak,
aku minta maaf. Aku salah menilaimu, aku tidak tahu kau sangat terluka karena
perbuatanku di masa kecilmu.” Ibu angkatku terllihat muram dan lebih letih dari
sebelumnya. Ia jadi terlihat lebih manusiawi daripada yang dulu. “Mungkin kau
tidak memaafkanku, tapi… aku benar – benar berharap kau mau menemaniku disaat –
saat terakhirku..” kini airmatanya telah jatuh membasahi pipinya.
“Lupakan
saja, mungkin aku harusnya tidak masuk dalam keluarga kalian.”
“T-tidaak,
kau harus tahu… lebih awal, kau adalaahh.. akhh lambungku, Jung-sssou…”
Aku menatap ibu angkatku dan panik, segera
saja aku memijit bel dekat tempat tidur. Tak lama Dokter Min tiba dengan para
suster, mereka menyuruhku untuk menunggu diluar. Ibu angkatku dibawa keruang
Icu. Yang tidak pernah kutahu adalah saat ibu angkatku dibawa ke ruangan
tersebut, kali itulah kali terakhir aku menatap wajah ibuku. Dia terlihat ingin
mengatakan sesuatu namun terlambat, ia sudah dibawa masuk keruangan tersebut.
Tak
berapa lama Dokter Min keluar. Wajah dokter itu terlihat muram juga para suster
yang membawa ibuku masuk ke ruangan tersebut.
“Jung-sou,
maaf… kami sudah melakukan sebisanya, tapi… ibumu…”
Aku berlari masuk tanpa peduli apa yang
dikatakan Dokter Min. Menatap tubuh
ibuku yang sudah tertutup kain putih. Aku berjalan mendekat, menatap tanpa
bergeming sedikitpun. Tidak ada airmata, tidak ada setetespun bulir bening itu
nampak, hanya hatiku merasa sakit. Lebih sakit dari apapun yang ia perbuat. Aku
baru menyadari aku tidak membencinya, aku telah memaafkannya. Aku sangat
menyayanginya maka dari itu aku selalu berusaha untuknya. Aku selalu berusaha
untuk memenangkan hatinya. Belajar dengan giat dan mendapat nilai bagus itu
semua demi sebuah pujian, cinta kasihnya.
Aku
tetap diposisiku, hingga Ayahku tiba. Ia menangis sejadi – jadinya begitu pula
dengan Kenji-san. Walau Kenji-san hanya menitikkan sebuah airmata namun ia juga
sangat terlihat terluka. Aku tidak tahu saat ini wajahku terlihat seperti apa
namun Kenji-san menarikku dan memintaku untuk duduk. Ia takut aku jatuh pingsan
karena saat itu ternyata wajahku sangat pucat.
Ayahku
memelukku, aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya ingin menemui dia dan
berbagi sedihku mengatakan apapun yang kurasakan. Apakah ia mau mendengarkan
keluhku, Song Eun-yo… aku membutuhkan semangatmu untuk melalui ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar