Senin, 23 Januari 2012

Song Eun-yo (Part 3)


Hari ini begitu terik, menyebalkan. Ini bukan tempatku. Setidaknya itulah yang aku rasakan. Ini semua karena pak tua itu. Aku harus berada disini demi sebuah hal yang sangat kubenci. Dan lagi, ini semua menjadi buruk karena gadis itu kemarin terlihat sangat bersemangat untuk orang lain. Itu semua menyebalkan. Seandainya saja ia tahu, kalau aku menyukainya, kupikir aku ini memang bodoh. Meninggalkan gadis itu dan datang kemari padahal aku tahu, pak tua itu pasti punya maksud lain dengan menyuruhku kemari.
            “Tuan Muda, anda sudah ditunggu oleh para tamu…” ucap Kenji-san. Dia membungkuk dan kemudian menghilang.
            “Dimana dia ?” tanyaku ketika pak tua itu tidak nampak sama sekali di ruang kerjanya yang ada di rumah pantai kami.
            “Sedang mencari ayah ?” tiba – tiba pak tua itu muncul dari balik pintu yang tertutup dekat lemari.
            “Apa yang kau inginkan ?”
            “Hanya menyapamu, kau ini sangat tidak sopan, aku ini ayahmu… Jung-sou.”
            “Secara hukum.” Tukasku sengit. Mendengar nadanya yang riang.
            “Nak, sudahlah… kau tahu, aku memang mengangkatmu jadi anakku, karena aku menyayangimu, Urusan Henna tak menyukaimu adalah masa lalu. Ayolahh… lupakan saja.” Ucap pak tua itu dengan santai.
Mendenger nama Ibu angkatku aku jadi mengingat kesedihanku dimasa kecil. Saat ibu angkatku itu menyekapku di gudang bila aku dianggapnya mengganggu. Padahal apa yang pernah kutahu? Aku tidak mengerti apapun, aku tidak pernah berbuat sesuatu hal yang salah. Apakah, aku tidak layak menjadi anaknya. Park Henna, adalah sosok wanita dictator yang kejam untukku saat itu. Tiap kali ia berteriak padaku karena aku mendapat nilai buruk, tiap kali ia marah, ia selalu saja mengataiku anak tidak berguna. Dan terakhir yang sangat menyakitkan adalah ketika ia berkata bahwa aku tidak sama dengan mendiang anaknya, Park Jung-Han. Jung-Han, kakak angkatku yang meninggal setahun setelah aku diangkat dikeluarga Park, menjadi bagian keluarga ini adalah sebuah kesalahan untukku. Mungkin saja harusnya pak tua ini, tidak memasukkanku menjadi salah satu ahli waris disurat wasiatnya, agar ibu angkatku tidak lebih membenciku.
“Jung-sou…” suara itu menghaburkan lamunanku. Aku hanya menatap kosong kearah pak tua itu. “…kau mendengarku ?”
“Maaf, tapi aku sedang sibuk dengan pikiranku, jadi aku sama sekali tidak mendengarmu, pak tua.” Ucapku tanpa merasa tidak sopan. Toh ia senang kupanggil seperti itu. Ia biasa tersenyum bila mendengar panggilan itu.
“Ohh… kau ini, aku bilang… hari ini kau harus menemani, Henna di rumah sakit. Ia sendirian di sana, aku harus pergi ke Seoul untuk beberapa minggu. Maukah kau melakukan itu, Jung-sou ?”
Aku yakin ia melihat wajahku mendadak berubah seperti orang keracunan, aku tahu ibu angkatku itu memang masuk rumah sakit karena radang usus buntu tapi bukannya ia sudah bisa pulang seminggu yang lalu.
“Pak tua, bukankah ia sudah bisa pulang ? Kecuali… ada hal yang tidak kau katakan padaku.” Ujarku kali ini aku menangkap sorot kesedihan dimata pak tua itu.
“Ayolah, Nak… dia hanya ingin bertemu denganmu, ia tidak seburuk apa yang kau pikir selama ini..”
Aku terdiam. Aku hanya menatap dan termenung lalu mengangguk pelan. Kupikir meski ia seorang dictator tapi bukankah dictator masih sama saja dengan manusia yang lainnya ?.
...
Park Henna, sosok wanita dictator yang kutakuti kini bukan lagi seorang yang selama ini kulihat. Ia terlihat sangat kurus, matanya cekung ditambah dengan lingkar dibawah matanya yang menghitam. Aku hanya diam tanpa ekspresi menatapanya sedang terkulai lemah di tempat tidur. Perlahan seorang suster masuk dan tersenyum menyapaku, ketika ia melihatku berdiri disana. Aku hanya mengangguk membalas sapaan suster itu.
            “Maaf apakah anda, Tuan Park Jung-sou ?” Tanya suster, setelah mengganti bunga di vas tersebut.
            “Iya…”
            “Oh, Nyonya Henna sering bercerita tentang anda, dia selalu memuji anda. Dia selalu berkata, ‘ia ingin minta maaf…’ diakhir ceritanya tentang anda.” Ujar suster dengan ramah.
            “Apa penyakitnyaa…” gumamku.
            “Maaf, anda berkata sesuatu, Tuan ?”
            “Ya, aku bertanya apa penyakitnyaa ?” jawabku tanpa basa basi.
            “Apakah ayah anda tidak mengatakan apapun, Tuan ?”
            “Tidak, bisakah kau memberitahuku ?”
Aku sangat terkejut ketika suster itu mengajakku pergi ke ruang Dokter Min. Dokter keluarga kami. Jika aku masih bisa menyebut mereka—orangtua angkatku—keluarga. Henna, ibu angkatku mengidap penyakit kanker lambung stadium akhir. Ia sulit untuk mencerna makanan, jadi ia hanya bisa makan lewat selang infus. Ia sudah tidak kuat menahan penyakitnya sehingga tidak ingin mengikuti kemoterapi. Sejak ia di vonis mengidap penyakit tersebut ia sudah seperti orang yang berbeda.

Aku kembali ke kamar wanita itu, tapi aku tidak menemukan ia dimanapun. Aku mencari keseluruh penjuru ruangan dan sama sekali ia tidak terlihat dimanapun. Jantungku sudah berdebar ketakutan. Detik berikutnya aku mendengar suara pintu terbuka dan mendapati sosok yang kucari sedari tadi.
            “Jung-sou, kejutan sekali kau datang.” Ucapnya sambil menggeret peralatan infusnya.
            “Yaa, kenapa berkeliaran dengan benda seperti itu, ibu ?”
            “Oh, aku lelah hanya berbaring disana.” Ia menunjuk tempat tidurnya. Aku menuntunnya untuk berbaring dan ia hanya diam. Airmukanya nampak letih.
            “Ibu, kau harus istirahat agar sembuh.” Ucapku.
            “Naak, aku minta maaf. Aku salah menilaimu, aku tidak tahu kau sangat terluka karena perbuatanku di masa kecilmu.” Ibu angkatku terllihat muram dan lebih letih dari sebelumnya. Ia jadi terlihat lebih manusiawi daripada yang dulu. “Mungkin kau tidak memaafkanku, tapi… aku benar – benar berharap kau mau menemaniku disaat – saat terakhirku..” kini airmatanya telah jatuh membasahi pipinya.
            “Lupakan saja, mungkin aku harusnya tidak masuk dalam keluarga kalian.”
            “T-tidaak, kau harus tahu… lebih awal, kau adalaahh.. akhh lambungku, Jung-sssou…”
Aku menatap ibu angkatku dan panik, segera saja aku memijit bel dekat tempat tidur. Tak lama Dokter Min tiba dengan para suster, mereka menyuruhku untuk menunggu diluar. Ibu angkatku dibawa keruang Icu. Yang tidak pernah kutahu adalah saat ibu angkatku dibawa ke ruangan tersebut, kali itulah kali terakhir aku menatap wajah ibuku. Dia terlihat ingin mengatakan sesuatu namun terlambat, ia sudah dibawa masuk keruangan tersebut.
            Tak berapa lama Dokter Min keluar. Wajah dokter itu terlihat muram juga para suster yang membawa ibuku masuk ke ruangan tersebut.
            “Jung-sou, maaf… kami sudah melakukan sebisanya, tapi… ibumu…”
Aku berlari masuk tanpa peduli apa yang dikatakan  Dokter Min. Menatap tubuh ibuku yang sudah tertutup kain putih. Aku berjalan mendekat, menatap tanpa bergeming sedikitpun. Tidak ada airmata, tidak ada setetespun bulir bening itu nampak, hanya hatiku merasa sakit. Lebih sakit dari apapun yang ia perbuat. Aku baru menyadari aku tidak membencinya, aku telah memaafkannya. Aku sangat menyayanginya maka dari itu aku selalu berusaha untuknya. Aku selalu berusaha untuk memenangkan hatinya. Belajar dengan giat dan mendapat nilai bagus itu semua demi sebuah pujian, cinta kasihnya.
            Aku tetap diposisiku, hingga Ayahku tiba. Ia menangis sejadi – jadinya begitu pula dengan Kenji-san. Walau Kenji-san hanya menitikkan sebuah airmata namun ia juga sangat terlihat terluka. Aku tidak tahu saat ini wajahku terlihat seperti apa namun Kenji-san menarikku dan memintaku untuk duduk. Ia takut aku jatuh pingsan karena saat itu ternyata wajahku sangat pucat.
            Ayahku memelukku, aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya ingin menemui dia dan berbagi sedihku mengatakan apapun yang kurasakan. Apakah ia mau mendengarkan keluhku, Song Eun-yo… aku membutuhkan semangatmu untuk melalui ini.

You And Me (Bagian 2)


Ale
Untuk pertama kalinyaa…
Bukan aku nggak tahu siapa namanya, aku cuman ingin dia nyebutin sendiri. Aku selalu memperhatikan dia sejak hari pertama dia melangkah masuk ke sekolah ini. Dia tidak pernah terlihat menunjukkan siapa dirinya, tapi orang lain tahu siapa dia. Itu juga bukan karena kakaknya seorang artis, tapi karena siapa dirinya. Eitss… bukan juga karena dia orang kaya. Dia itu… ya cewek cantik dengan otak yang super jenius. Aku jatuh cinta dengan kepribadiannya yang nggak pernah peduli dengan cacian orang lain. Bukannya aku nggak tahu juga, dia sering diganggu Tere, adik sepupuku yang memang merasa gusar pada cewek jenius itu. Dia merasa cewek jenius itu orang yang bakal merusak popularitasnya. Padahal cewek itu sama sekali nggak peduli apapun tentang gossip sekolah bahkan dia sangat tidak sadar kalau banyak teman – teman sekelasku yang menjadikan dia ‘most wanted’.
            Cewek itu adalah Clarissa Catherine. Dia mengenalkan diri sebagai Caca. Aku sudah lama menyukainya, sejak kecil. Hmm.. ini aneh, jujur saja aku mengenalnya sudah lama, sejak keluargaku pindah ke sebelah rumahnya. Ia tidak pernah menyadari keberadaanku, selama ini ia selalu berdiam diri dirumah. Sampai suatu hari aku menemukannya di danau dekat kompleks. Ia sedang menangis, saat itu ia masih kecil jadi bisa saja ia tidak pernah ingat. Bayangkan ia menangis hanya karena kehilangan sebuah kalung mainan yang harganya tidak seberapa.
            Peristiwa itu sangat berkenang dihati namun cerita itu mungkin lain waktu akan aku ceritakan.
            “Kenapa sih, cengar – cengir kayak orang gila lo ? Gimana rasanya baru masuk setelah libur seenak jidat lo sendiri ?”
            “Suka – suka gue, gue bosen liat buku pelajaran. Lagian bokap juga ngijinin. Elo siapa emang ?” Dia Netta, tunangan abangku si Radit. Dia emang cerewet tapi emang cocok sama abangku yang orangnya rada sabar ngadepin omelannya Netta yang panjangnya ngalahin rel kereta api.
            “Kalo bukan karena permintaan, si Dey lo juga nggak bakal mau nyudahin liburan lo, iyakan ?.” tebak abangku, si Radit yang tiba – tiba nongol kayak jin.
            “Bodo’ amat !” gerutuku.
            “Apa nggak papa, elo balik setelah dua bulan nggak masuk ?” tanya Netta.
            “Ya nggak masalah, cuman gue turun kelas aja, jadi kelas dua lagi.” Sahutku.
            “Hmm… elo udah sebulan disana, apa dia sama sekali nggak nyadarin keberadaan elo, Al ?” Radit terlihat serius.
            “Nggak, dia masih sibuk sama dunianya. Gue mau dia sadar gue ada tapi belom nemuin cara yang tepat..”
            “Hah ? Playboy cap gembok susah deketin cewek yang bener aja ?.” Kali ini Netta mengejekku dengan bangga.
            “hahahaahaa… santai dong, kakak ipar. Elo tuh nggak sabaran ya…”
Aku lari sebelum kena timpuk sepatu milik Radit yang sudah akan melayang menuju wajahku. Karena dia tahu apa yang akan aku katakan selanjutnya.
Hari itu, akhirnya aku bisa berkenalan dengannya. Aku bahagia dan ini lebih dari menang lotre. Aku merasa dia hanya kesepian dan membiarkan perasaan tersebut berkembang menjadi rasa yang tak boleh disentuh oleh siapapun. Ia mengunci dirinya rapat – rapat dengan sikap dingin, jutek, dan ketusnya kepada orang lain. Yang kuharap hanya, ia mengingatku sejujurnya. Karena aku benci dilupakan oleh orang yang selalu aku perhatikan.
            “Elo lagi ngapain sih, Al ? Bengong !” Rutuk Tere. Dia terlihat merengut saat melihat arah pandangan mataku. Benar. Aku sedang menatap Caca yang sedang duduk di pojokan aula dengan buku yang ia bawa sejak tadi. Ia memang anti olahraga, entah kenapa ia jarang mau ikut berlari atau main basket dengan siswa lain yang sekelas dengannya.
            “Elo lagi olahraga, kenapa kemari ?”
            “Gue bosen tau, elo ngapain sih liatin si cupu itu ?”
            Dia bersandar di tembok kelas lantai dua dengan santainya. Ia memang seorang cewek yang sangat mengerti fesyen tapi dia jelas bukan cewek yang mengerti bahasa tubuh. Kalau aku rada malas dengan dia yang selalu bicara seenaknya sendiri apalagi dengan Caca, yang jelas – jelas tidak pernah mengusiknya.
            “Suka – suka gue, mata – mata gue. Kenapa musti elo sewot.” Balasku dengan nada yang ketus.
            “Iiih.. Ale, lo itu harusnya nyadar dong. Elo itu cowok cakep yang jadi inceran anak sekolah kita, cewek satu sekolah sini rela jadi yang kedua demi elo, tapi kenapa elo malah ngecewain mereka dengan deket sama si cupu itu.”
            “Semua ? apa itu termasuk dia ?” ucap gue menunjuk kearah Caca.
            “Bisa aja, diakan cewek nggak laku.” Balas Tere dengan nada yang sangat menghina.
Aku hanya bisa tersenyum mendengarnya sebab bukan hanya nada menghina yang ada dikalimat itu. Nada iripun sangat terdengar jelas. Aku tahu, Tere memang tidak mau punya saingan, apalagi cewek yang jelas – jelas sangat mirip dengan artis idolanya. Siapa lagi kalau bukan Dewita Catherine, Dey—lebih tepatnya kakak Caca—panggilan akrabnya.
“Oh ya, gue nggak yakin kalo lo nggak tahu, kalo dia itu kembaran dari Dey. Elo fans berat Dey kan ?”
“Ale ! gue bakal bilang ke nyokap gue. Elo itukan tunangan gue, kenapa sih elo merhatiin si cupu itu !” geram Tere.
“Bilang aja, gue nggak takut sama nyokap lo, dan inget pertunangan kita itu batal, sejak elo lebih milih Reno dari gue. Bukannya elo, cinta sama bajingan matre itu, hm ?”
“Eloo…”
“Pergi sana, jangan sampe ada yang denger kecemburuan lo itu.” Ucapku. Karena obrolan itu aku jadi kehilangan momen melihat Caca deh. Cewek nyebelin itu, ngeselin juga. Setelah cewek itu pergi, aku nggak melihat Caca lagi. Dia malah udah nggak ada ditempatnya tadi.
            Aku menemukannya. Dia berada diatap sekolah dengan wajah yang terlihat merenung dan sendu. Matanya menerawang menatap langit senja yang memang terlihat indah dari atas sini. Dia seakan berharap, berdoa, dan meminta sesuatu. Dia ingin apa?.
            Entah apa yang kupikirkan mendadak tubuhku bergerak dan mendekatinya perlahan hingga ia menoleh. Terkejut begitu melihat keberadaanku. Akupun terkejut, ternyata cewek itu menangis sejak tadi. Kenapa aku tidak sadar, kalau dia menangis. Untuk pertama kalinyaa… aku melihat mata itu dari dekat lagi… mata yang meminta untuk ditolong. Mata yang begitu terluka, begitu tersayat hingga aku tanpa sadar memeluknya.
            Aku ingin menghapus airmatanyaa… sungguh.

Caca
Aku tidak peduli… dan apa aku pantas memaafkan… ??
“LEPASIN !” Gue nggak tahu, darimana cowok menyebalkan itu muncul. Tapi secara tiba – tiba dia udah berada disana (mirip anak jin) dan memeluk gue dengan seenaknya. Maksudnya apa, kalau bukan mau berbuat yang nggak baik sama gue. Bukan begitu ?.
            “Sorii.. gue refleks, habis elo nangis. Gue cuman mau nenangin elo, gue minta maaf kalo kurang sopan, Ca.” wajahnya terlihat cemas ? Heh? Cowok aneh.
            Gue menatap cowok itu dingin. Gue juga salah, harus jadi cengeng di tempat kayak gini. Harusnya gue nggak kesini. Ini semua gara – gara Miss Artis itu tiba – tiba berkata hal yang jelas tidak terbukti. Ini menyebalkan !.
            “Gue nggak butuh, belas kasian lo.”
Gue pergi meninggalkan cowok menyebalkan itu dan berlari menuju toilet jelas saja. Gue nggak bisa lama – lama begini,  gue harus tahu sebenarnya. Benarkah apa yang dikatakan Miss Artis itu tentang nyokap. Karena gue sungguh nggak bisa percaya dengan fakta bahwa. Kedua orangtua kami berpisah karena nyokap punya cowok idaman laen. Gue nggak mau terima itu begitu saja. Jadi, gue harus ketemu sama nyokap. Apapun yang sebenernya, gue harus tahu secara langsung dari dia !.
 Dia terlihat sama saat terakhir gue lihat di persidangan. Jangan kira mentang – mentang nyokap gue artis, gue bakal seneng nonton dia di televisi. Buat gue, itu adalah hal yang gue benci.
Dia menatap gue seolah gue ini orang lain. Kalian pasti nggak akan mau membayangkan gimana perasaan gue saat ini. Sangat menyakitkan dan begitu ingin menumpahkan sumpah serapah dari mulut gue. Tapi gue masih ingat, dia adalah pemberi kehidupan gue. Dia yang telah membawa gue ke dunia ini, dia yang mengenalkan gue sama semua hal yang ada dibumi. Seburuk apapun, bukankah dia tetep seorang ibu yang pernah bertaruh nyawa untuk gue, Dewi, dan Dino.
“Ada apa kamu kesini ?”  dia terlihat sedang sibuk bersolek di depan cermin meja riasnya yang berada dikamar, ruangan apartemennya yang elit banget. Setidaknya itu yang bisa gue tangkep dari bahasa tubuhnya.
“Mamii.. apa Mami tinggal dengan seseorang disini ?” wajahnya terkesan dingin menutupi kegugupannya. Ia sangat mudah dibaca, maksudku ekspresinya. Dia memang berbeda dengan Bokap gue yang sangat pendiam. Dia seperti halaman buku yang terbuka.
“Bicaramu ngawur, Catty.”
Gue memasang wajah sedatar mungkin untuk menahan semua perasaan sakit hati saat ini. Gimanapun, dia harus jujur sama gue. Karena dengan jelas matanya berbohong, kebohongan yang membuat keluarga kecil gue hancur.
“Mamiiiii !” Pekik gue, “Mami, boleh bohong sama semua orang termasuk Papa, tapi Mami nggak bisa bohong sama aku dan Dewi, Kita tahu, Mami bukan pembohong yang baik.” Lanjut gue dengan nada dingin.
“Cukup ! Kamu… harus pulang, Mami ada syuting. Ini ongkos taksi, cepat pulang. Mbok Gin sudah, nunggu kamu.” Ucapnya. Ia memunggungiku, sambil menelpon seseorang.
Gue menatap punggung wanita yang pernah sekali waktu mencium kening gue. Memberikan gue sebuah kehangatan dikala gue sedang sakit. Wanita yang memilih dunia yang gue benci bahkan hingga bercerai dari bokap. Menghilangkan keluarga impian gue. Gue merasa dia nggak pernah mengharapkan gue, untuk ada.
Apakah gue akan bisa memaafkan dia bila nanti dia menyesal atas perbuatannya..? Dan apakah gue pantas, memaafkan dia…? Gue nggah tahu… dan gue udah nggak peduli… akan seperti apa nantinyaa. Karena wanita itu telah berhenti mencintai dan menyayangi semua hal dengan tulus. Wanita itu… seakan tidak mau tahu, perasaan gue ini. Apakah gue salah berharap dia masih punya perasaan lembut seorang ibu ?.

Dewi
Aku minta maaf… aku ingin berhenti saja…
Sore itu aku mendapatkan telepon dari pihak sekolah bahwa, Caca membolos di pertengahan jam sekolah. Dan mereka yakin, Caca bukan murid yang suka membolos jadi mereka menelpon ke rumah untuk menanyakan apa yang sekiranya terjadi pada salah satu murid jenius mereka. Aku hanya menyampaikan adikku itu kurang sehat, jadi dia sedang istirahat dirumah. Pihak sekolah menerima perkataanku dan segera setelah sambungan telepon itu terputus aku mendengar suara seseorang masuk. Aku yakin itu Caca.
            “Caa… elo kenapa ?” matanya terlihat merah, sembab mirip mata ikan mas koki. Ia menatapku sekilas, dia tampak tidak peduli pada pertanyaanku dan melanjutkan naik menuju kamarnya.
            “Caca ! Tunggu !” Pekikku mengikutinya naik tangga.
Ia berhenti dan menoleh padaku, lalu melempar pandangan jijik juga marah ?
            “Jangan deketin gue, gue benci kalian !”
            “Ca ! Gue tau elo benci gue, tapii… sejak kapan elo mulai belajar bolos?” ucapku ketus padanya.
            “Cih.. nggak usah sok perhatian sama gue !” Balasnya sengit.
            “Apaa ? Gue cuman nggak mau elo nantinya…”
            “Gue nggak butuh ceramah dari orang yang pulang cuman untuk tidur aja kerumah, kalo gedung ini masih bisa disebut rumah...” Tukasnya “…Dan satuhal, elo memang bener, nyokap itu punya orang laen, selamet Dey !”
            Aku terpaku menatap adik kembarku, mencerna perkataannya. Sementara ia sudah melanjutkan langkahnya menaiki tangga menuju kamar. Perasaanku bercampur aduk antara syok dan sedih seperti waktu itu. Ia berharap, Caca berkata tidak benar. Namun sepertinya, mengingat sikap Caca yang seperti tadi hal yang ia katakan benar adanya. Aku terdiam, perasaanku benar – benar tidak mau mempercayai apa yang Caca katakan.
Aku tahu, Radit menatapku tajam sedari tadi. Melihat mataku yang memerah, bukan hanya Radit tapi Netta juga menatapku. Aku bingung harus mengatakan apa pada mereka. Serba salah, ini adalah masalah yang sangat pribadi meskipun mereka tahu orangtuaku telah berpisah lama. Tapi… aku masih merasa takut untuk menceritakannya. Takut kalau – kalau aku menangis lagi. Huhh… aku jadi sedih sendirii… akhh…!
            “Elo nggak mau, bilang nih masalah elo?.” Tanya Netta.
            “Gue rasa belom waktunyaaa…”
            “Kenapa ?” Radit kali ini bersuara.
            “Yaa, ini masalah gue sama nyokap, Dit. Kalian perlu tahu itu aja sih, sisanya gue belom mau percaya apapun perkataan, si Caca.”
            Netta dan Radit menatapku dengan perasaan bingung. Mereka yakin ada hal yang serius jadi mereka tidak menanyakan apapun setidaknya tidak untuk saat ini. Aku merasa kacau sampai – sampai aku ingin menumpahkan semuanya kepada siapapun asal jangan kepada kedua sahabatku saja.
Aku berjalan perlahan menuju mobil saat melihat Archie dengan seorang cewek yang sangat cantik, usianya aku perkirakan sekitar dua puluhh empat tahun. Cewek itu sangat luar biasa cantik. Aku memperhatikan sedang berdebat, sampai Archie melihatku berdiri di dekat mobil dan ia terlihat terkejut ? benarkah ? Aneh sekali.
            Kali ini bukan hanya Archie yang menatapku, tapi cewek yang ada disebelahnya juga menatapku. Cewek itu tersenyum misterius dan mengajak Archie masuk ke mobil. Sungguh cewek yang aneh, tapi kalo dipikir – pikir gue rasanya pernah lihat cewek itu, tapi dimana dan kapan ?
            “Oooh… sudahlah Dey, elo udah cukup banyak masalah hari ini..” Gumamku sendiri dan masuk ke mobil.
Bersembunyi dari wartawan adalah hal yang ingin kulakukan. Karena mereka paling tidak telah mencium berita terhangat dan bukan hal yang mustahil akan bertanya – tanya tentang Mami kepadaku. Itu malah ‘ngbuat aku bersikap buruk pada mereka jadi lebih baik menghindari mereka. Sangat sulit menghindari mereka, tahukan mereka butuh berita untuk bisa menampilkan yang terbaik untuk para pemirsa setia mereka. Tapi itu semua justru sedikit perlu ekstra permakluman kalo privasi aku sebagai remaja jelas terganggu.
            “Dewi !” seseorang yang sedang berdiri dekatku memanggilku, Archie. Aku sedikit terkejut karena ini bukan tempat syuting dan biasanya dia tidak memanggilku dengan namaku, julukannya untukku banyak tak bisa ku hitung. Dari semua julukannya tidak ada yang enak di dengar.
            “Oh.. eh.. Archie, sedang apa lo di Mall gini ?”
            “Lagi keliling aja, nganter…” tiba – tiba seorang cewek datang menghampiri kami berdua. Cewek yang aku lihat waktu itu. Cewek cantik dengan wajah khas banget, bener – bener cantik. Bukan berarti aku ngerasa minder hanya saja cewek itu memang cantik dan anggun dengan mata berwarna hijau, kurasa itu lensa kontak.
            “Hai, elo Dewi Catherine. Bolehkan kita panggil elo Dey ?” cewek itu menggandeng tangan Archie, aku rasa dia adalah kekasih Archie.
            “Tentu aja.” Aku memberikan senyumku. Entah kenapa aku merasa Archie sedikit canggung. “Eloo…”
            “Gue Eliza, elo boleh panggil gue Elly. Lo jelas udah kenal Archie dong ?”
            “Iyaa, gue kan lagi main di filmnya dia… kalian kemari sedang ada acara ya, gue nggak enak nih nganggu, hehehe.”
            “Elo mau kemana emang ?” tanya Archie.
            “Gue, mau ke toko buku sih sekalian ke cafĂ© situ tuh.”
            Elly menatapku penuh selidik, aku jadi merasa sedikit risih tapi biarlah mungkin dia takut kalau pacarnya kecantol sama artis hehe. Lucu juga, aku jadi sedikit melupakan kesedihanku.
            “Kalian darimana ?”
            “Gue dari nganterin Archie tadi keliling, yaudah kami duluan ya, Dey.” Senyum Elly terlihat tulus sementara Archie sedikit kesal ? apa bener yang aku lihat tadi cowok itu kesal pada kekasihnya. Kenapa harus kesal, bukankah sikap Elly baik terhadap temannya eh rekan kerjanya. Cowok itu memang aneh kelihatannya.
Hari  ini rumah sepi, Dino sedang di rumah temannya Fia belajar kelompok. Sedangkan Caca sendiri, dia sudah mau masuk sekolah setelah hari itu, namun ia jadi makin pendiam dan jarang berekspresi. Hanya ada Mbok Gin yang ku lihat tadi di pekarangan sedang menyiram tanaman.
Aku menatap pantulan diriku dicermin kamarku. Sudah terlalu lama aku tidak tidur di kamar ini. Kamar ini saksi bisu saat aku merasa berduka atas perpisahan kedua orangtuaku. Mereka tidak pernah masuk kemari, bukan hanya kedua orang tuaku namun adik – adikku sendiri, Mbok Gin, dan pengurus rumah yang lain tidak kuberikan izin masuk kemari. Sekalipun aku tidak pernah pulang.
Seandainya ada yang pernah masuk, pasti mereka tidak tahu seberapa parahnya kamar ini. Temboknya di cat dengan warna hitam dan merah marun. Kamarku sangat bernuansa gothic. Tidak ada yang akan percaya kalau mereka melihat warna rambutku. Ini memang keinginanku sejak lama, bisa diwarnai sesuka hatiku dan aku memotongnya dengan model bob. Berbeda dengan Caca, yang lebih suka berpenampilan biasa (dengan rambut panjang hitam yang indah) namun kami tetap serupa dalam hal fisik. Ia cantik, bisa dikategorikan dalam cewek populer, hanya saja dia tidak pernah mau peduli. Aku ingin seperti dia, terkadang iri dengan sikapnya yang sangat perdiam. Dingin terhadap orang lain mungkin bukan sikapnya yang terpuji tapi ia bukan orang yang jahat, ia hanya ingin menjadi dirinya sendiri.  Aku sama seperti dia.
Tiba – tiba ponselku berdering, melantunkan lagu favoritku saat ini. Aku menatap layar ponselku disana tertera nama “Annet”. Itu Netta, aku segera menerima panggilan masuk tersebut.
“Haloo.. napa Netta ?” tanyaku dan terdengar suara Netta diujung telpon sana.
“Dey, Caca pingsan di sekolah, barusan Ale telepon Radit.”
Tersentak, aku langsung panik. Anak itu, nggak mungkin separah itu dia bukan cewek lemah. Aku tahu itu.
“Gimana keadaannya, kenapa bisa pingsan ?”
“Dia dikerjain sama temennya, untung Ale terus mantau dia. Kalo nggak adek lo bisa kenapa – napa, Dey. Sekarang elo cepetan ke rumah Radit ya, gue tunggu.” Sambungan telpon langsung kuputus. Aku mengambil kunci mobilku dan pamit pada Mbok Gin. Aku tidak bisa memberitahu beliau tentang keadaan Caca, beliau pasti akan sangat khawatir bahkan melebihi Mami.
            Aku mendengar kata ‘dikerjain’ tadi seolah aku merasa ada yang tidak menyukai Caca disekolah. Tapi siapa ? setega itu sama adikku yang jarang bicara dan bahkan sama sekali tidak suka berdebat hal – hal sepele. Kepalaku serasa berputar – putar dengan banyak pertanyaan.
            Selama ini aku tidak tahu apapun mungkin tentang Caca, tentang bagaimana ia menghadapi teman – temannya di sekolah. Apa ini semua terjadi karena kesalahanku juga sebagai kakaknya.
            Aku minta maaf, Catty dan setelah syuting film ini selesai. Aku akan berhenti saja dari entertainment  yang sering kamu sebut sebagai ‘dunia setan’. Aku akan mengundurkan diri dan melanjutkan sekolahku. Tapi maukah kamu memaafkan aku, Catty ?
            Tanpa kusadari airmataku menetes.